Mak Endang, Sang Pelindung Tamu
Pertama kali mendengar terjadinya keributan masa antara masyarakat Dayak dan Madura di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas[i] tepat di akhir tahun 1996, hati Mak Endang (45 tahun saat itu) bergetar. Ingatan masa lalu akan kerusuhan-kerusuhan yang pernah dilaluinya pun kembali hadir. Doa dipanjatkannya, berharap kejadian tersebut tidak menjalar ke daerahnya. Apalagi saat itu sang suami tercinta, Pak Ismail, sedang menjalani pendidikan Adumla[ii] di Mempawah, ibukota kabupaten. Sehingga, untuk sementara waktu, perempuan paruh baya beretnis Dayak yang bersuami Melayu Sambas inilah yang harus menjadi kepala keluarga.
Walau telah di akhir bulan puasa dan menjelang hari raya Idhul Fitri, Mak Endang tidak seperti ibu-ibu lain di lingkungannya. Jika kebanyakan mereka bersibuk membuat kue-kue, ia tidak begitu menghiraukannya, dan lebih banyak mencari informasi perkembangan konflik. Tak jarang, ia harus mendatangi kelompok lelaki yang sedang kumpul di pasar atau mendatangi Markas Koramil atau Pos Polisi yang ada. Dalam kondisi yang menegangkan tersebut, banyak rumor yang berkembang dan memperpanas suasana.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pemblokiran jalan di Desa Salatiga, yang mayoritas penduduknya Madura, mengakibatkan masyarakat lain (yang mayoritas beretnis Dayak) yang tergantung pada jalan tersebut menjadi mudah terprovokasi. Pada suatu siang di akhir Pebruari 1997, ketakutan Mak Endang menjadi kenyataan. Ribuan orang berkumpul di sekitar Kota Kecamatan Mandor, dimana Mak Endang telah bermukim selama hampir 15 tahun dan hanya terletak kurang dari 10 km dari Desa Salatiga, tempat pemblokiran terjadi. Masa tersebut bermaksud membuka pemblokiran jalan yang berlangsung. Kebanyakan mereka membawa senjata tajam yang berkilauan terkena sinar matahari. Beberapa dari mereka, wajahnya terlihat memerah disengat matahari atau dipengaruhi minum keras. Amarah melingkupi masa yang datang dari berbagai kecamatan di Kabupaten Pontianak[iii]. “Suasana saat itu, tak jauh berbeda dengan serangan Tsunami di Aceh,” paparnya mengambarkan keadaan saat itu.
Dalam kondisi serba tidak pasti tersebut, ia mencoba menenangkan anak-anak dan keluarganya. Apalagi hubungan dengan suaminya terputus total, akibat jalur transportasi yang terhambat dan teknologi komunikasi yang belum sebaik saat ini. Untuk melindungi diri dan keluarganya, Mak Endang teringat pada pengalaman kerusuhan 1983, segera ia mencari daun juang dan kain merah-putih. Kain merah-putih dan daun juang adalah simbol yang berarti penggunanya merupakan kerabat masyarakat Dayak. Karena tak tersedia kain merah dan putih, iapun terpaksa mengorbankan sepotong bendera, untuk dipotong-potong dan dibagikan pada keluarga, tetangga, dan aparat keamanan yang singgah di rumahnya, serta orang-orang Madura yang kemudian datang meminta perlindungan kepadanya.
Ketegangan ini terjadi cukup lama. Semakin hari semakin banyak orang yang datang ke Kota Mandor untuk melibatkan diri dalam konflik kekerasan ini. Dalam suasana mencekam tersebut, datang beberapa keluarga berlatar belakang etnis Madura ke rumah Mak Endang untuk meminta perlindungan. “Tamu” Mak Endang ini sebagian besar berasal dari desa di sekitar kota Kecamatan Mandor, yang telah meminta perlindungan ke sana-sini, namun ditolak. Rumah Mak Endang menjadi tujuan terakhir bagi mereka, karena masyarakat mengetahui sosok Pak Ismail, suami Mak Endang, seorang guru yang ringan tangan dalam menolong orang. Selama 2 minggu, dimana puncak konflik berlangsung, setidaknya hampir 15-an orang dari 5 keluarga, yang datang minta perlindungan ke rumahnya.
Apa yang dilakukan Mak Endang bukanlah sebuah tindakan yang tak beresiko. Ancaman bagi orang yang menyembunyikan “musuh” adalah dihabisi dan rumahnya akan dibakar. Bahkan pada awalnya tidak semua anaknya mendukung. “Mamak mau menyelamatkan mereka atau mau membunuh kami?,” protes seorang anaknya yang masih duduk dibangku SMA saat itu. Namun setelah diberi pengertian, mereka pun sepakat dan mendukung apa yang dilakukan Mak Endang. “Kalau berniat dan berupaya berbuat yang baik, tentunya Tuhan akan melindungi,” ungkap Mak Endang menyangkut motivasinya melindungi para “tamu”-nya. Ia pun teringat petuah bapaknya sewaktu dia kecil, saat terjadi kerusuhan Dayak-China atau yang lebih dikenal dengan “Demonstrasi China” pada tahun 1967. “Tidak boleh dan janganlah kalian menganiaya orang lain dan mengambil barang milik orang yang teraniaya,” nasehat ayahnya saat mengajak Mak Endang kecil melihat-lihat keadaan paska kerusuhan itu.
Para “tamu”-nya ini diakunya sebagai anggota keluarga atau kerabat jauhnya pada orang-orang yang menanyainya. Ada pula yang beberapa hari harus disembunyikanya di dalam kolong tempat tidur dengan dibaluti kasur. Ada di antara mereka yang harus Mak Endang potong rambut, supaya membuat penampilan mereka berbeda, takut-takut ada yang mengenali mereka. Tak jarang Mak Endang harus berbohong tentang identitas mereka. Pun baju anak-anak, suami dan dirinya ia berikan pada para tamu-nya, karena kebanyakan mereka hanya memiliki baju yang melekat di badannya saja. Televisi satu-satunya terpaksa pula Mak Endang jual pada tetangganya, Pak Jay, karena uang yang ada telah menipis. Selain memberi makan “tamu”-nya, Mak Endang terkadang juga harus menyediakan makan untuk saudaranya yang datang dari Pak Kumbang. Padahal, saat itu harga makanan melambung tinggi, akibat transportasi yang terputus.
Mak Endang pun secara aktif melakukan penyadaran pada orang-orang dekatnya. Saat keluarganya dari Desa Pak Kumbang datang ke rumahnya, dengan alasan hendak melindungi dia dan anak-anaknya. Ia menasehati mereka untuk tidak ikut-ikutan melakukan hal-hal yang tidak baik. “Jangan melakukan pengerusakan dan pembunuhan, karena korbannya juga adalah manusia, “ imbaunya pada mereka. Mak Endang selalu mengingatkan mereka untuk kembali ke ajaran agama yang mereka anut dan percayai.
Setelah keadaan aman dan berlangsung perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak, para tamunya akhirnya ia serahkan pada aparat keamanan. Puji syukur Mak Endang panjatkan, karena sang suami pun dalam keadaan baik, walau sempat diungsikan ke Pontianak oleh pelaksana pendidikan. Tak ada seorang pun tamunya yang terluka dan menjadi korban. Oleh aparat keamanan, mereka semua saat itu diungsikan ke Pontianak. Ada beberapa yang kemudian kembali ke tempat asalnya, namun ada pula yang pindah ke daerah lain. Beberapa dari mereka ada yang menjadikan Mak Endang sebagai keluarga barunya dan selalu menjalin tali silaturahmi dengannya hingga saat ini. ”Mudah-mudahan janganlah terjadi kejadian yang demikian kembali, apapun yang dilakukan saat itu terasa tak enak, hati terus menerus was-was,“ harap dan pesan Mak Endang.
[i] Wilayah Kabupaten Sambas sejak 1998 hingga saat ini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang. Kecamatan Sanggau Ledo saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang
[ii] Adumla= adminstrasi umum lanjutan, sebuah bentuk pelatihan dan pendidikan bagi pegawai negeri sipil
[iii] Wilayah Kabupaten Pontianak sejak 1998 telah dimekarkan menjadi Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Landak. Kecamatan-kecamatan di sekitar Mandor saat ini telah menjadi bagian dari Kabupaten Landak
0 Comments:
Post a Comment
<< Home