Bu Eni, Guru Cinta Damai
Kerusuhan berlatar belakang etnis yang terjadi di Kabupaten Sambas beberapa tahun yang lalu, seakan masih membekas dalam ingatan Eni Dewi Kurniawati. Saat itu, ia masih mengajar di satu-satunya sekolah menengah umum negeri di Kota Sambas[i]. Sehabis kejadian yang berlangsung hampir selama 2 bulan itu, ibu tiga orang anak ini harus kehilangan belasan orang muridnya. Mereka sejak saat itu tidak lagi menjadi murid yang diasuhnya, karena harus mengungsi mengikuti orang tua mereka. Keadaan ini diakibatkan pengusiran komunitas beretnis Madura, yang merupakan dampak dari kerusuhan tersebut.
Secara sadar, perempuan kelahiran Tambelan[ii] pada 16 Desember 1964 ini, tidak menyetujui kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban nyawa dan harta benda tersebut. Kesedihan yang kerap menghampiri hatinya, kala mengenang kejadian tersebut, membuatnya sadar untuk berbuat. Entah apa saja yang bisa dibuatnya. Tentu saja dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Ia pun menyadari yang menjadi korban dari kerusuhan tersebut tidak saja komunitas Madura yang terusir, komunitas Melayu juga sejatinya merupakan korban. Terlebih pada anak-anak, yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut, tanpa mereka tahu mengapa kejadian tersebut harus terjadi.
Analisanya, penyebab kerusuhan tersebut diakibatkan rendahnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kemanusiaan dan terkikisnya rasa persatuan di antara anak bangsa negeri ini. Menyadari kondisi yang demikian, alumni IKIP Malang[iii] ini, mulai untuk melakukan upaya penyadaran akan pluralisme pada murid-muridnya. Berbagai metode mulai ia kembangkan, baik melalui pengajaran di dalam kelas maupun pada kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya.
Dalam kegiatan pengajaran, cara yang dikembangkannya adalah melalui metode diskusi dan kegiatan karang-mengarang. Bagi Bu Eni, kegiatan karang-mengarang bukan lah sesuatu yang asing bagi dirinya. Maklum, ia sangat gemar akan dunia sastra dan saat kecil ia pun pernah bercita-cita menjadi pujangga. Tema-tema yang diangkat dalam kegiatan karang-mengarang ini dicobanya untuk mendorong penghargaan pada nilai kemanusiaan dan permasalahan yang dekat dengan anak-anak. Dukungan yang diberikannya tak hanya sampai di sini. Beberapa karya muridnya, ia fasilitasi untuk dimuat di media massa. Salah satunya adalah Majalah Horison, salah satu kiblat satra di Indonesia. Di media ini pada edisi Novembar 2000, pernah dimuat tujuh karya muridnya dan secara khusus dibahas pula oleh Jamal D. Rahman, seorang penulis puisi dan kritikus sastra ternama. Pujian dan penghargaan yang besar disampaikan kritikus ini pada karya murid-muridnya. Pesan perdamaian dapat kita rasakan sangat kuat berada dalam tulisan-tulisan para pelajar ini, simak-lah salah satu karya yang sempat dimuat tersebut:
Perang[iv]
oleh: Jamilah
tiga suku bangsa
terebut tanah leluhur
tertempur di bumi Sambas
beribu kepala melayang
beribu ibu kehilangan keluarga
beribu rumah terbakar
beribu anak putus sekolah
kami tak punya siapa-siapa
ketakutan ini akan kami ceritakan pada siapa
kami kaum muda
hanya bisa mendengar
tak mampu menghindar
Di SMU Negeri 1 Sambas, yang merupakan tempat keduanya mengabdi mendidik generasi penerus bangsa, setelah sebelumnya ia sempat bertugas di SMU Negeri Tebas[v] selama sembilan tahun, Bu Eni bersama beberapa muridnya mendirikan sebuah sanggar seni, yang diberi nama Muara Ulakan. Setiap tahun, sanggar seni ini kerap menyelenggarakan sebuah pagelaran akbar. Hampir pada setiap pagelaran, ia selalu mendorong murid-muridnya untuk membawakan karya-karya yang temanya dekat dengan kondisi aktual di masyarakat. Tak heran, jika pada gelaran yang dilakukan pada 2000, pertunjukan yang digelar membawakan tema mengenai dampak dari kerusuhan yang terjadi.
Saat pagelaran seni tersebut digelar, selain civitas academica[vi] SMU Negeri 1 Sambas, acara tersebut juga dihadiri oleh pejabat pemerintah, pemuka dan tokoh masyarakat di kota tersebut. Memang ada saja yang mengkritisi dan merasa kurang setuju akan gelaran tersebut, yang mengambarkan dampak dari kerusuhan yang terjadi. Namun banyak pula yang memberi pujian dan bersepakat akan pesan-pesan yang disampaikan dalam karya seni yang ditampilkan tersebut. Tanggap balik demikian semakin mengukuhkan dirinya untuk terus berjuang menegakkan perdamaian dan menginspirasikan dirinya untuk terus berkarya.
Pada awal 2003, ibu guru yang pernah menjadi guru berprestasi di Kabupaten Sambas dan runner up guru berprestasi di Kalimantan Barat 2002 ini, membaca pengumuman menyangkut lomba kreativitas guru nasional yang diselengarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia tertarik untuk mengikutinya dan mulai menyusun tulisan agar dapat disertakan dalam kegiatan ini. Tak sulit memang bagi dirinya untuk menghadirkan tulisan tersebut. Karena apa yang dijabarkannya merupakan rangkaian pengalaman yang pernah diujicobakannya dalam pengajaran di kelas. Tulisan itu diberinya judul Minimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme pada Siswa SMUN 1 Sambas. Selain sebagai media mengasah kemampuan menulis, ia juga berharap dapat mempertukarkan metode pengajaran yang dikembangkannya. Tak disangka, tak dinyana. Tulisannya mendapatkan kesempatan untuk masuk putaran final, sehingga ia pun harus berangkat ke Jakarta, untuk diuji dan diwawancarai oleh tim panel, yang terdiri dari beberapa orang pakar yang diketuai oleh Prof. Dr. Robert Napitupulu.
Pertanyaan yang diajukan oleh para pakar, mampu dijelaskannya dengan baik. Walau ada satu pertanyaan yang sangat diingatnya dan dijawabkan dengan polos, karena memang ia tidak mengetahuinya. Pertanyaan tersebut menyangkut dimana ia mempelajari metode pengajaran kurikulum berbasis kompetensi, yang akan diterapkan pada 2004. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui apa dan bagaimana kurikulum berbasis kompetensi itu. Wajar, karena hingga saat itu, ia belum pernah sama sekali mengikuti pelatihan menyangkut model pembelajaran tersebut. Padahal, menurut para pakar, metode yang dikembangkannya sangat selaras dan memenuhi prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Saat pengumuman dilakukan, ia tak begitu berharap menjadi pemenang, karena ia merasa telah cukup banyak pengalaman yang didapatkannya dalam rangkaian kegiatan tersebut. Waktu namanya disebut sebagai pemenang pertama, ia terkejut dan tak menyangka akan berkah tersebut. Kalimat syukurpun ia haturkan keharibaan Sang Kuasa. Di dalam hatinya, ia merasa apa yang dilakukannya selama ini akhirnya mendapatkan pengakuan dan dihargai.
Tak banyak kata yang dapat diucapkannya waktu mendapatkan penghargaan dan diwawancarai oleh para wartawan dari segenap media, baik cetak maupun elektronik. Hanya sepatah kata yang mampu terucapnya. Ia bermohon, “Bantu saya persatukan bangsa ini.”
[i] Saat ini, beliau telah menjadi Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Sambas, yang sejak pendiriannya pada 2003 ia menjadi Ketua Tim Persiapan
[ii] Pulau Tambelan terletak di Propinisi Kepulauan Riau, yang secara geografis letaknya berdekatan dengan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
[iii] Beliau mengikuti program Diploma 3 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Tanjungpura dan melanjutkan pendidikannya melalui program penyetaraan di IKIP Malang pada 1998.
[iv] Disadur dari Majalah Horison, Rubrik Kakilangit 46/ November 2000 halaman 18.
[v] Kota Tebas terletak kurang lebih 80 Km sebelah selatan Kota Sambas
[vi] Keluarga besar sebuah lembaga pendidikan, yang meliputi: murid, guru, alumni dan orang tua murid
0 Comments:
Post a Comment
<< Home