Monday, October 02, 2006

Batu Ballah Batu Betangkup

Batu ballah, Batu betangkup, Tangkupkan aku, Anggan kakiku
Aku kemponan Tallor Timbakul
Oh mak, oh mak, Balik udde' Hari dah malam Adek na' nyussu.


Begitulah syair dan lagu berirama pilu yang hingga kini selalu didendangkan ketika sang ibu mengiringi si Dodoi yang sampai waktunya akan tidur. Di dalam syair lagu itu dengan mudah disimak bahwa Batu Ballah itu adalah jelmaan Dewayang mengerti akan rintihan hati seorang ibu yang pasrah berpisah dengan kedua anak kesayangannya karena terlalu besar "rasa kepinginnya" untuk menikmati lezatnya telur Tembakul di hari itu. Lalu terjadilah dialog melalui syair yang dilantunkan gadis kecilnya, satu-satunya kakak Si Bungsu yang tak henti-hentinya menangis. "Oh mak, oh mak, ampunkanlah dan maafkanlah kami yang manja. Kembalilah pada kami, Mak. Jangan dekati Batu Ballah itu. Kasihanilah adik kelaparan susu, menangis sedari tadi. Oh Mak, oh mak kemarilah jauhilah Batu Ballah itu. Kami takut mendekat ke sana......

Begitulah mengawali cerita rakyat pantai Tanjung Batu (di Pemangkat, Kabupaten Sambas) yang terkenal itu. Di sana pernah hidup tiga anak manusia, yaitu seorang ibu yang sudah menjanda bernama Mak Risah dengan kedua anaknya yang sulung perempuan bernama Long Ijun dan yang bungsu laki-laki bernama Su Pisok. Mereka hidup berkasih-kasihan dan senantiasa bertawakal menerima kadar yang serba berkekurangan sejak ditinggal pergi Sang Ayah yang sudah lama tiada.
Ditempat yang jauh dari keramaian itulah keluarga kecil ini menjalani sisa-sisa hidup dalam penderitaan, tertutup kepala terbuka kaki, tertutup kaki terbuka kepala. Kesulitan yang tiada bertepi membuat Mak Risah terkadang-kadang berputus asa. Terlebih lagi si Bungsu selalu saja menangis, sementara Long Ijun yang sangat menyayanginya hampir kehabisan waktu membantu ibunya selain menjaga dan merawat si manja yang hanya seorang itu.

Pada suatu hari Mak Risah berkata kepada putri sulungnya itu. "Nak, jaga adikmu baik-baik. Mak hendak pergi mencari Telur Tembakul". Setelah itu iapun pergi ke bibir pantai yang airnya sedang kering. Kebetulan banyak sekali ikan Tembakul hari itu, sayangnya belum kelihatan Tembakul yang sedang bertelur. Namun terhibur sejenak hati Mak Risah melihat Tembakul yang berkejar-kejaran karena ikannya dapat hidup di dua alam. Di pantai yang sesekali di lebur ombak tampak jelas ia berjalan dengan sirip dan ekornya dengan dua matanya yang besar dan menonjol.

Setelah mendapatkan telur yang cukup banyak untuk mereka bertiga lalu pulanglah Mak Risah ke pondok yang reot, didapatinya kedua anaknya sedang asyik bermain. Rupanya mereka kehabisan kayu bakar yang biasanya dicari oleh Ijun dan Pisok sambil bermain, demikianpun garam dan kunyit untuk merempahi telur yang diperolehnya itu. Ketika itu ia berpesan kepada putrinya. "Mak ke hutan dulu mencari kayu. Telur sudah mak rebus, kalau sudah masak supaya diangkat, nanti baru diberi rempah dan kita makan bersama", katanya. Long Ijun mengangguk sambil menepuk-nepuk paha adiknya dalam gendongan. Setelah itu Mak Risah pun pergi. Sebetulnya ia sangat lapar dan letih, tetapi siapa lagi yang mengerjakan itu semua.

Sepeninggal maknya, Su Pisok pun minta makan karena sejak pagi belum merasakan apapun juga, belum sempat menyusu pada maknya. Long Ijun ingat pesan maknya sebab telur belum diberi rempah akan tetapi karena adiknya tak henti-hentinya menangis ibalah hatinya. Lagipula apalah dayanya. Ia hanya seorang gadis kecil yang tidak dapat berbuat banyak, tambahan lagi perutnya sendiri terasa menggigit-gigit kelaparan. Hari sudah tinggi, namun mak yang ditunggu-tunggu belum lagi pulang. Karena tidak tahan melihat adiknya yang tak henti-hentinya menangis, lalu diambilnya panci yang terjerang diatas tungku itu. Melihat telur berwarna kuning menusuk hidung, mula-mula diambilnya sedikit, lama-kelamaan sang kakak pun turut merasakan. Dalam keadaan kelaparan itu membuat Long Ijun lupa pesan ibunya dan khilaf tidak meninggalkan untuk maknya walau sedikitpun. Selesai makan keduanya mengantuk lalu tertidur. Sepulangnya Mak Risah dari mencari kayu dan rempah betapa ia sangat terkejut melihat telur Tembakul yang tidak lagi bersisa. "Sampai hati kau Jun, Mak tidak disisakan sedikitpun", katanya mengeluh sambil duduk berpangku tangan dibendul pintu. "Su Pisok menangis terus Mak, sejak pagi kelaparan susu. Ijun pun juga lapar Mak, sampai lupa meninggalkan barang sedikit untuk Mak". "Tapi Mak pun juga lapar sekali, sedari pagi belum merasakan apa-apa. Mak mengira sepulang mencari kayu, kita makan bersama-sama". Long Ijun sedih sekali mendengar uraian Maknya itu. Sekarang apa yang harus dimasak maknya lagi, telur Tembakul sudah habis, hendak mencari lagi, air laut sudah pasang dan ikan Tembakul sudah pergi ke tempat yang jauh mencari pantai berlumpur yang lain.
"Maafkanlah kami Mak, kami telah berdosa...". Mak Risah menangis pilu, sedih sekali. "Sudahlah Jun. Mak sudah kemponan...." katanya teramat sedih karena semua keinginannya dan harapannya telah putus sehingga kemponan. Ia bangkit perlahan, kemudian berjalan lamban menuju ke Tanjung Batu. Jalannya kemudian semakin cepat, akhirnya ia meraung, menangis sambil berlari.

Sesampainya di mulut Batu Ballah iapun memohon: "Batu Ballah, Batu Betangkup, Tangkupkan aku anggan kakiku, aku kemponan Tallor Tembakul". Toop.... bunyi Batu Ballah menangkupkan kedua kaki mak Risah. Mendengar itu Long Ijun pun menangis sambil berlari menggendong Pisok yang juga menangis. "Oh..oh Mak Balik Uddek, hari dah malam, adek na' nyussu". "Tidak, aku tak mau pulang, kamu berdua jahat, tak sayang dengan Mak", jawab Mak Risah sementara kedua kakinya sudah ditangkupkan Batu Ballah, lalu iapun memohon lagi : "Batu Ballah Batu Betangkup, tangkupkan aku anggan parrutku, aku kemponan tallor timbakul". Demikianlah seterusnya sehingga ditangkup bagian perutnya, lalu lehernya.Melihat itu Long Ijun memberanikan diri menyelamatkan maknya, tapi terlambat, yang didapatkannya hanyalah rambut maknya yang panjang terurai. "Oh mak........oh mak tunggulah kami. Tega nian mak tinggalkan kami, adek kecil kelaparan susu. oh mak...oh mak hari sudah malam, pulanglah mak". Tapi Mak Risah sudah tak mau mendengar lagi.

sumber: http://novagia.8m.com/ibatu.html

0 Comments:

Post a Comment

<< Home