Thursday, November 08, 2007

Mandailing Antara Fakta Dan Legenda

WASPADA Online.
Oleh Farizal Nasution

Sejarah Mandailing di Sumatera Utara tidak bisa dipisahkan dalam lembaran legenda yang sampai kini terus hidup dan berkembang. Sebab dari Mandailing inilah lahirlah manusia-manusia Mandailing yang kini hidup beranak pinak sampai ke anak cucu.

Mandailing, menurut legenda berasal dari daerah Munda di utara India. Masyarakat Munda di utara India ini terpukul oleh serangan bangsa Aryan, lalu berpindah ke Burma di mana terdapat sebuah kota purba yang dinamakan Mandalay. Setelah sekian lama di sana mereka sekali lagi diusir ke luar oleh kaum asli Burma, lalu berpindah menyeberangi Selat Malaka hingga ke Sumatera. Menurut informasi yang sampai kepada penulis, masuknya bangsa Munda tersebut ke Sumatera melalui Pantai Barat Sumatera yaitu Pelabuhan Barus. Beberapa abad sebelum tahun Masehi, Barus sudah banyak didatangi berbagai bangsa, dan menjadi pelabuhan yang sangat terkenal karena kapur barusnya. Di Barus pula pada masa lalu pernah ditemui koloni etnis Tamil yang juga berasal dari India.

Menurut cerita yang berkembang pada abad keenam, orang-orang Munda ini telah berjaya mendirikan kerajaan bernama Poli di Pantai Timur Sumatera. Kerajaan ini juga dikenal sebagai Portibi atau Puni. Tetapi Kerajaan Munda Holing ini hanya bertahan sampai abad XVI. Pada sekitar tahun 1030 an kerajaan Hindia Selatan di bawah pimpiunan Maharaja Rajendera Chola menaklukan Portibi (Munda). Lalu masyarakat Munda berpindah ke Pidoli berhampiran Penyabungan yang ada sekarang ini. Di Pidoli ini mereka mendirikan sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Mandela Holing. Tetapi dari informasi lain ada yang menyebut asal nama Mandailing ialah bermula dari perkataan Mandalay, yaitu nama sebuah kota yang besar di Burma. Sebab di Burma utara terdapat sebuah kota kebudayaan atau pusat peradaban dan pemerintah yang bernama Mundalay yang hampir sama dengan Mandailing di Sumatera Utara.

Dalam perkembangan sejarah bahwa kerajaan Mandala Holing ini berjaya hingga abad XIII, sebab mereka diserang oleh kerajaan Hindu Singosari dari Tanah Jawa di bawah pimpinan Raja Kertanegara yang telah melancarkan expedisi Pemelayuan pada 1275. Namun, dalam waktu singkat orang-orang Mandala Holing ini telah berjaya mendirikan kerajaan mereka dan menjadi termashur. Kerajaan Hindu Majapahit pada masa lalu merasa tergugat dan cemburu karena kerajaan Mandala Holing menjadi kuat. Pada tahun 1365 kerajaan Hindu Majapahit menyerang Sumatera sekali lagi. Di dalam Sumpah Palapa Gajah Mada yang berbentuk syair Purba Jawa yang bertajuk Negarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca dan dijumpai di Puri Cakranegara Lombok terdapat pernyataan Mandailing itu sebuah negeri besar yang telah diserang. Ini menunjukkan bahwa kerajaan Mandailing telah lama ada sebelum nama Batak tercatat di dalam peradaban sejarah.

Di dalam Sumpah Palapa disebutkan pasukan Majapahit mengekspansi ke Melayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebo, Darmasraya, Minangkabau, Siak, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru dan Mandailing. Keberadaan Mandailing telah terlukis indah pada syair ke 13 Negarakertagamanya Prapanca yang agung. Pada masa itu Mandailing mempunyai masyarakat yang homogen yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang sudah tinggi pada zamannya. Tanah Mandailing telah terkenal di nusantara ini sekitar tahun 1287 Caka (1365 M). Dalam catatan sejarah atas serangan Rajaendra Cola dari India pada 1023 M ke kerajaan Panai. Kerajaan Panai berlokasi di bagian hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga (pertemuan sungai Barumun dengan sungai Batang Pane) termasuk daerah Portibi di Gunung Tua hingga sampai ke lembah pegunungan Sibual-buali di daerah Sipirok. Ini ditandai dengan adanya anggota masyarakat yang bermarga pane di daerah Sipirok.

Dari informasi, nama Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahasa Minangkabau, perkataan tersebut berarti ibu yang hilang. Ada juga menyebutkan Mandailing berasal dari perkataan Munda hilang yang berarti Munda yang mengungsi. Bangsa Munda di India pada masa yang silam melakukan pengungsian karena mereka terdesak oleh bangsa Aria. Konon sebelum kedatangan bangsa Aria, bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke Selatan. Pendudukan bangsa Aria itu terjadi di sekitar tahun 1500 sebelum Masehi. Bangsa Munda pindah ke luar dari daerah India menuju Assam dan Asia Tenggara setelah terjadi pendudukan lembah sungai Gangga oleh bangsa Aria dalam keseluruhannya.

Ketika terjadi perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak dari bangsa Aria, diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera melalui Barus.Mandailing memang sebuah kerajaan sehingga pada waktu dulu kerajaan ini disegani di seluruh nusantara bahkan dunia. Konon, kerajaan Mandailing memiliki kekuatan gaib untuk menumpas lawan lawannya. Namun pada saat yang kurang menguntungkan Datu Besar (guru besarnya) meninggal dunia sehingga kekuatan Mandailing lemah dan mereka kocar-kacir menyelamatkan diri ke wilayah lainnya. Dalam penelusuran penulis di daerah tersebut adanya sebutan Mandala pada beberapa buah pemukiman moyang marga Rangkuti dan Parinduri yakni Datu Janggut Marpayung Aji bernama Mandala Sena. Untuk menguasai daerah kerajaan tersebut pada abad XIV sebagaimana yang disebut dengan nama Mandala Hilang (Mandailing) di dalam buku Negarakartagama. Dalam penelusuran itu terdapat candi-candi dibangun sejak abad X dan XI. Bahkan sebagian candi-candi itu pembangunannya dimulai jauh seelum abad ke X.

Oleh sebab itulah besar kemungkinan kerajaan Mandala Holing yang meninggalkan daerah ini kemudian hari berubah nama menjadi nama Mandahilang (Mandailing seperti terdapat dalam buku Negarakertagama dengan nama Mandailing). Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Mandailing Natal di tengah pulau Sumatera sepanjang jalan raja lintas Sumatra. Mandailing terbagi dua yaitu: Mandailing kecil, ulu dan Pakantan dan dua Mandailing Besar dan Batang Natal. Kemudian Mandailing dibagi dua walaupun adatnya sama yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muarasoma dan Muara Parlampungan di sebelah barat. Sedangkan daerah Mandailing Julu didominasi oleh marga Lubis yang wilayahnya mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagidang di sebelah selatan.

Dalam penelusuran penulis, marga Mandailing banyak. Seperti tersebut di bawah ini : Babiat di Tambiski, Napagadunglaut. Baumi di Marancar Dabuar di Nagasaribu, Portibi Dalimunthe di Muaratais, Sigalangan, Sihulambu, Lombu Tayas, Gunung Tinggi, Janjilobi. Dasopang di Silangge, Pangirkiran Daulae di Pintu Padang, Singkuang, Sipiongot, Siunggam, ringgonan, Hasahatan, Hutanopan (Padang Lawas), Sosa Julu, Sosa Jae, Aeknabara, Binabo. Dongoran di Sihulambu, Tapus (Padang Lawas), Silangge, Sipiongot, Mandalasena, Tambiski, Napagadunglaut, Halongonan. Harahap di Hutaimbaru, Sabungan, Simapilapil, Siharangkarang, Losungbatu, Hanopan, Batunadua, Pijorkoling, Napagadunglaut, Pangirkiran, Hasang, Parurean, Halongonan, Hajoran, Purbasinomba, Gunungtua (Padang Lawas), Pamuntaran, Siunggam, Nagasaribu, Batangonang, Gadu, Tabusira, Sayurmatinggi (Pasang Lawas), Padang dolok, sosopan, Simanosor, Padang Hanopan, Hasahatan, Sosa Jae, Siapas, Ujungbatu, Aeknabara, Portibi, Unterudang, Binanga, Huristak, Simangambat (Padang Lawas), Sidangkal, Pargarutan, Panyanggar, Simatontong, Sabatarutung, Pasar Matanggor, Sababalik. Hasibuan di Sihulambu, Batugana, Gunungtua (Padang Lawas), Paringgonan, Hasahatan, Janjilobi, Hutanopan (Padang Lawas), Sosa Julu, Sosa Jae, Mondang, Pinarik, Siapas, Aeknabara, Unterudang, Binanga, Huristak, Simangambat (Padang Lawas), Ujungbatu, Barumun.

Hutasuhut di Lobu Layan, Sipirok
Lubis di Maga, Tambangan, Kotanopan, Manambin, Tamiang, Ulu, Pakantan Dolok, Pakantan Lombang, Hutanopan (Padang Lawas), Sosa Jae, Mondang, Pinarik, Aeknabara. Nasution di Panyabungan Tonga, Panyabungan Julu, Gunungtua (Mandailing), Pidoli Dolok, Pidoli Lombang, Hutasiantar, Gunung Baringin, Lingga Bayu, Muara Parlampungan, Aeknan gali, Sosopan, Paringgonan, Hasahatan, Janjilobi, Hutanopan (Padang Lawas), Sosa Jae, Mondang, Pinarik, Siapas, Aeknabara, Unterudang Simangambat (Padang Lawas). Pane di Tapus (Padang Lawas), Napagadunglaut, Arse, gunung Manaon, Pangurabaan dan Lancat. Pasaribu di Tolang (Padang Lawas), Sosa Julu.Payung di Simundol Pohan di Gunung Tinggi, Simundol, Sipiongot, Nagasaribu, Huristak. Pulungan di Batang Toru, Sayurmatinggi (Batang Angkola), Hutanopan (Padang Lawas), Huta Bargot (Mandailing), Sumuran dan Silaia di Kecamatan Sipirok. Rambe di Tapus (Padang Lawas), Gunung Tinggi, Simundol, Sipiongot, Mandalasena. Rangkuti di Runding, Aekmarian.Ritonga di Sihulambu, Lobu Tayas, Tolang (Padang Lawas), Tapus (Padang Lawas), Gunung Tinggi, Sipiongot, Mandalasena, Tambiski. Sagala di Sihulambu

Simbolon di Sipiongot, Mandalasenan. Siregar di Baringin, Parausorat, Bungabondar, Napagadunglaut, Hajoran, Purbasinomba, Batugana, Pamuntaran, Siunggam, Nagasaribu, Batang Onang, Sayurmatinggi (Padang Lawas), Gunungtua (Padang Lawas), Pangkal Dolok, Sosopan, Janjilobi, Hutanopan (Padang Lawas), Sosa Jae, Portibi, Unterudang, Binanga, Marancar, Tambiski, Mandalasena, Janji Manaon, Simandiangin, Aek Bayur, Hopong. Tanjung di Lingga Bayu, Silangge, Mandalasena, Napagadunglaut.

Keberadaan Mandailing bukan datang dengan sendirinya tetapi mengalami suatu proses. Selepas Pidoli dibumi hangus, bangsa Munda yang bercampuraduk dengan penduduk asli telah membentuk marga Pulungan dan mendirikan kerajaan di Huta Bargot. Kerajaan ini telah dikalahkan oleh Sutan Diaru dari marga Nasution yang berasal dari Pagaruyung. Sutan Diaru mendirikan kerajaan di Panyabungan dan memerintah seluruh Mandailing Godang. Oleh karena Sutan Diaru itu adalah seorang putera yang ditemui di bawah pokok beringin di tepi Aek Batang Gadis ibunya pula tidak diketahui maka kerajaan tersebut dikenal sebagai kerajaan Mande Nan Hilang Mandehilang atau ibu yang hilang dan akhirnya sebutan tersebut menjadi Mandailing mengikut loghat orang minang.

Dalam syair Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tidak bisa dipisahkan dalam menyelusuri Mandailing sebab dalam syair ke-13 Kakawin terdapat kata kampe Harw athawe Mandailing i Tumihang Parlak mwang i Barat. Dengan adanya kata Mandailing merupakan bukti sejarah bahwa Mandailing menjadi perhitungan di nusantara ini. Sebab keberadaan Mandailing memang dijuluki sebagai wilayah yang kuat dan solid dalam peradabannya. Sebab nama Mandailing memang tidak ada duanya di Indonesia ini, unik dan misteri lagi. Dalam abad ke-14 sekitar tahun 1365 orang mandailing memiliki peradaban yang maju sehingga menjadi perhitungan bagi raja-raja Jawa. Sebelum lahirnya kerajaan Majapahit Mandailing telah ada walau sebuah kampung yang dihuni oleh beberapa orang dengan rajanya. Sehingga lama kelamaan kerajaan ini menjadi besar dan lahirlah kerajaan Majapahit yang memang besar dan kuat. Kerajaan Mandailing pada waktu itu memang besar di akibatkan oleh mas. Mas merupakan penghasilan penduduk sebab di wilayah ini memang kaya akan hasil tambangnya. Sehingga masyarakatnya makmur dan mampu menghidupkan dirinya sendiri. Tanpa harus expansi ke wilayah lain. Sehingga pada waktu itu Mandailing dikenal sebutan tano sere yang artinya tanah emas dalam cerita-cerita lama.

Daerah Mandailing Julu (kini disebut Kotanopan) sampai kini ditemukan tepat yang bernama garabak ni agom seperti di sekitar Huta na Godang. Nama itu diberikan kepada bekas tempat-tempat orang agam (Minangkabau) menambang mas di masa dahulu di Mandailing Julu, yaitu dekat Muarasipongi. Tano sere sebagai bukti Mandailing kaya dengan mas sehingga kerajaan Mandailing tetap jaya sebab tidak memerlukan bantuan dari wilayah lain untuk membangun kerajaannya. Nama Mandailing sebenarnya sudah disebut dalam kesusastraan Toba Tua yang klasik yang disebut di dalam Tonggo Tonggo Si Boru Deak Parajar yang terdiri dari 10 pasal. Di dalam kesusastraan tersebut tertulis Mandailing. Konon menurut cerita dalam buku Sutan Kumala Bulan yang ditulis oleh H. Mhd. Said menjelaskan sebagai berikut : Diperhatikan dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawa dapat diyakini pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 – 24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola Sipirok.

Bila menyelusuri jejak kerajaan Mandailing tidak bisa lepas dari kerajaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Sebab semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua dengan adanya bukti-bukti candi-candi purba. Dengan serangan pasukan Majapahit karena melihat kerajaan Mandailing menjadi besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan tersebut dipindahkan ke Piu di daerah Mandailing (dekat kota Panyabungan yang sekaang). Ini dibuktikan pada masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Namun demikian bukti ini (candi-candi ini) keburu dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. namun reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di Panyabungan dan Simangambat di Siabu. Dalam sebuah surat uang dikenal Surat Tumbago Holing berdasarkan informasi masyarakat memang ada tetapi belum diketahui orang. Menurut orang tua di daerah Mandailing bahwa surat Tumbago Hilang ialah surat perjanjian yang dibuat oleh seorang raja di Mandailing dengan Belanda. Bila surat itu ada berarti baru lahir abad ke XIX. Rasanya terlalu mudah kejadiannya. Namun ada yang menafsirkan Surat Tumbago Holing ini ialah surat Emas dari bangsa Keling suatu surat yang isinya mengajarkan kebaikan kepada masyarakat di tempat itu zaman dahulu kala sedangkan dari agama Hindu merupakan surat perjanjian yang berbentuk undang-undang untuk dihayati yang bersumber dari buku kepercayaan mereka. Konon dari cerita legenda yang berkembang sampai kini dan masih dipercaya masyarakat setempat pada zaman dahulu kala di mana pagi masih berkabut. Langit terlihat remang-remang berselimut awan kelabu. Burung-burung mulai berkicau menyambut sang surya di ufuk timur. Saat itu terlihat ibu-ibu dan gadis-gadis tanggung pergi ke tepian.

Mereka hendak mencuci atau sekedar mengambil air.
Dari kejauhan terlihat sekelompok orang-orang berjalan menyusuri jalan setapak. Bila diperhatikan gaya penampilan dan bahasanya mereka adalah orang-orang asing. Mereka terlihat berjalan kepayahan sebab sudah sangat jauh yang ditempuhnya. Mereka seolah-olah ketakutan. Mereka ada yang membawa barang miliknya, kayaknya seperti orang hendak mengungsi. Orang-orang bertanya-tanya tentang orang yang belum dikenal mereka. Sekelompok orang tadi mengenalkan dirinya mereka berasal dari negeri India Selatan. Datang ke sini untuk menyelamatkan diri. Sebab negeri mereka dalam bahaya karena diserang bangsa Aria. Mereka berharap dapat menginap di daerah sini yakni Mandailing. Orang kampung menyetujuinya sebab orang dalam kesusahan harus ditolong. Sekelompok orang tadi senang sekali sebab mereka juga menikmati sungai Barumun yang jernih dan bersih. Rupanya diantara mereka ada yang menemukan emas sewaktu bermain pasir di tepian. Benda itu berwarna kuning berkilau. Kalau begitu sungai ini banyak emasnya. Sebab harganya sangat tinggi.

Dengan ditemukanya emas tadi maka beramai-ramai mereka memulai mendulang emas. Mereka saling menyelusuri tepian sungai Batang Gadis. Ternyata mereka berhasil menemukan emas lagi. Tepian sungai yang semula sunyi itu makin hari bertambah ramai. Mereka menyelam ke sungai mencari barang berharga. Mendulang emas sebagai mata pencaharian. Makin hari bukan saja warga pengungsi, warga setempat juga turun mendulang emas. Bahkan orang-orang dari Minangkabau turut bagian. Mereka tidak mau ketinggalan untuk memperoleh emas murni yang sangat berharga itu. Terutama sekali para ibu-ibu yang di sana disebut mande. Dengan keadaan yang demikian menyebabkan tepian sungai Batang Gadis banyak mendirikan pondok-pondok. Sebab mereka terlalu jauh untuk ke kampungnya. Dari hari ke hari tepian sungai itu banyak berdiri rumah-rumah. Kebanyakan penghuninya bermata pencaharian mendulang emas. Sehingga tempat itu semakin terkenal. Dengan demikian tempat inilah asal berdirinya kerajaan kecil di Mandailing. Tepatnya sekitar tepian sungai Batang Gadis. Dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, wajar menjadi sasaran penyerangan dari kerajaan lain.

Kerajaan Majapahit datang atas perintah Hayam Wuruk. Terjadilah peperangan kecil terjadi. Pasukan raja-raja di tepian Batang Gadis menghalau pasukan Majapahit. Mereka sama sama kuat. Bagaimanapun kecilnya peperangan, kerugian di pihak rakyat pasti ada. Mereka berhamburan meninggalkan rumah mereka. Untuk menyelamatkan diri, bermukim di tempat yang aman. Orang-orang Munda sebagai pengungsi tidak terhindar dari gangguan ini. Mereka turut pindah ke tempat lain. Saat itu penduduk asli mereka kehilangan sajabat karir sebab selama ini mereka sering mendulang emas bersama-sama. Dari kisah hilangnya orang-orang Munda ini, seolah-olah mereka kehilangan sehingga mereka menyebut Munda Hilang. Dan dari tahun ke tahun kata-kata Munda. Hilang menjadi Mandailing.

1 Comments:

At 2:13 AM, Anonymous Anonymous said...

bermanfaat

 

Post a Comment

<< Home