Tuesday, November 28, 2006

Mereka Memandang Guru sebagai Panggilan Hidup

Oleh: DR. Leo Sutrisno
SAYA bertemu di Entikong dengan seorang kepala sekolah SD. Ia berasal dari NTB dan sudah berada di daerah Entingkong lebih dari 25 tahun, selepas tamat dari Sekolah Pendidikan Guru di sana. Sejak penugasan pertamanya hingga menduduki jabatan Kepala Sekolah selalu bertugas di sekolah-sekolah yang terpencil yang jumlah gurunya tidak lebih dari dua orang, ia sendiri dan satu orang kawan guru yang lain. Ia beristrerikan seorang Malaysia. Oleh keluarga istri berulang kali diajak pindah kerja di negeri seberang. Namun, hingga kini ia tetap bertahan sebagai guru di Entikong walaupun penghasilannya jauh lebih rendah jika ia berada di negeri seberang. Ia menyatakan, "Saya pergi meninggalkan kampung halaman untuk mengabdi bagi negara Indonesia. Saya di sini untuk membantu anak-anak agar mereka menjadi lebih baik. Tentu saja, sesuai dengan kemampuan saya, Pak Leo. Karena itu, rasanya berat untuk menyeberang" Masih di Entikong, saya berjumpa dengan seorang guru yang masih muda, yang berasal dari Kota Sanggau. Ia berdua dengan seorang ibu guru yang berasal dari daerah Ngarak mengelola sebuah sekolah terpencil dengan 75 orang murid. Dua tahun terakhir ini ini ia sedang mewujudkan obsesinya untuk membantu penduduk setempat membuat pembangkit listrik mikro hidro. Ia menggunakan uang tabungannya sendiri bersama dengan satu dua orang donatur telah menghabiskan sekitar Rp20 juta untuk membantu penduduk di sekitar ia bekerja. Di Sintang, berjumpa dengan seorang Ibu guru muda, yang 'baru' bertugas sekitar lima tahun di sebuah sekolah dasar yang terpencil. Ia bersama Kepala Sekolahnya mengelola 75 orang siswa. Jarak terdekat rumah siswanya dari sekolah sekitar 4 km. Selama di sana ia telah mengunjungi 73 orang tua para muridnya. Kunjungan pada umumnya dilakukan dengan jalan kaki, lewat jalan tikus atau lewat sungai dengan sampan. Ini dilakukannya dengan senang hati. Di Belitang Hilir, saya bertemu dengan seorang bapak guru yang berasal dari DIY. Ia telah 16 tahun meninggalkan kampung halamannya bekerja sebagai guru di daerah ini. Selepas mengajar, sambil belanja untuk 'warung'-nya. Ia menunggu penumpang bis yang datang dari Pontianak. Dia mengatakan dengan cara seperti ini, ia menjadi 'betah' menjadi guru di daerah terpencil. Sinar matanya memancarkan kebahagiaan. Saya mendengarkan ceritanya sambil menikmati hidangan ubi kayu dan kacang rebus. Di daerah Sengah Temila, saya berjumpa dengan seorang guru sebuah SD terpencil. Sudah lebih dari 17 tahun ia mengajar di sekolah itu sendirian. Ia menggunakan model kelas rangkap. Pada suatu waktu ia mengikuti suatu pelatihan. Hati sungguh berbunga-bunga karena baru kali itu ia mendapat kesempatan meninggalkan sekolahnya untuk ikut pelatihan. Akibatnya, selain pelatihan juga dilaksanakan silahturahmi dengan kawan-kawan lama. Sungguh, baginya tiga hari pelatihan terasa sangat singkat. Di kecamatan Mandor, ada sekolah dasar yang diajar hanya oleh seorang 'guru'. Kata guru dalam tanda petik karena memang ia bukan guru dengan SK resmi. Ia hanyalah seorang pemuda lulusan SMP yang ingin mendharma-baktikan tenaga bagi anak-anak di situ. Sudah lebih dari 5 tahun ia mengabdi, sungguh-sungguh mengabdi, di sekolah itu . Katanya, sudah tiga kali meluluskan. Hingga tahun lalu ia tetap membujang karena merasa belum mampu menghidupi anak istri. Karena ia hanyalah seorang relawan tergantung berapa lama lagi masyarakat memerlukannya. "kalau sudah tidak diperlukan ya balik kampung" katanya sambil tersenyum. Di sebuah SD di Sibale (Bengkayang) saya berjumpa seorang guru setempat, yang rela melepaskan jabatan kepala sekolah di tempat lain karena ingin kembali mengabdi ke sekolah di kampung halamannya. Pekerjaan sebagai guru sudah ia jalani sekitar 22 tahun. Tidak banyak orang yang mau mengabdi di kampungnya. Di sebuah pulau di daerah Kakap, saya ditemui oleh seorang pemuda yang masih 'gaya'. Ia ber-HP dan menggunakan celana serta jaket 'blue Jean' ala Indonesia yang dibuat agak 'bladus'. Tetapi, ternyata ia adalah seorang guru di sebuah SD terpencil. Di sekolahnya hanya ada dia dan kepala sekolah. Muridnya sekitar 100 orang. Mereka berdua melaksanakan kelas rangkap dengan riang hati selama 4 tahun ini. Di kota Pontianak, saya menemukan seorang guru SD yang dengan disiplin tinggi mengikuti kuliah pascasarjana, walaupun harus mondar-mandir sekitar 30 km setiap sore/malam, ia tetap masih dapat bergelak tawa bersama kawan-kawan mahasiswa (dan tentu saja juga dengan saya). Ia ingin, kelak golongannya tidak mentok pada tingkat IVa. Mengapa mereka menjalani pekerjaan ini tanpa keluhan dan tanpa kekecewaan? Sebaliknya, mereka mencoba tampil maksimal. Karena jumlah guru di sekolahnya tidak memadai, mereka melakukan pembelajaran kelas rangkap. Pada waktu yang bersamaan mereka mengajar dua-tiga kelas sekaligus. Misalnya, di kelas I memberi pelajaran berhitung, sementara di kelas dua memberi pelajaran bahasa Indonesia. Selain kelas rangkap, mereka juga mencoba model pembelajar tematis. Siswa dari dua-tiga kelas dikumpulkan membicarakan topic yang sama tetapi disoroti dari disiplin ilmu yang berbeda sesuai dengan mata pelajaran di kelas masing-masing. Mereka sangat inovatif. Mereka menghayati pekerjaannya. Mereka sungguh menempatkan pekerjaan guru sebagai panggilan hidupnya. Ketika pekerjaan itu dipahami sebagai panggilan hidupnya maka tidak ada hitung-hitungan untung rugi. Yang ada hanyalah kehendak untuk membantu anak-anak untuk menambah pengetahuannya. Tentu sesuai dengan kemampuan para guru itu. Mereka tidak memikirkan berapa imbalan yang diterimanya. Yang penting pendidikan anak-anak terlayani. Dengan harapan agar kelak kemudian hari dapat menjadi orang yang baik. Namun, mereka yang sudah menjadi guru dua-puluhan tahun merasa cemas karena yang mereka idamkan dulu tidak tercapai. Banyak mantan muridnya yang pandai dan jadi 'orang' tetapi rasa'kemanusiaan'-nya terkikis. Rasa hormat terhadap orang lain menghilang. Rasa hormat kepada diri mereka sendiri telah dibuang jauh. Mereka merendahkan diri sendiri, larut dalam arus berbagai bentuk KKN. Menjadi pejabat tetapi tidak bermartabat. Inilah kegalauan para guru. Inilah yang membuat para guru bersedih. Sungguh akan merupakan kebahagiaan bagi para guru kalau mantan para muridnya menjadi orang yang baik, orang yang dapat diteladani, orang yang mau menghormati harkat dan martabat manusia. Inilah imbalan yang diharapkan para guru. Inilah membuat para guru menjadi bahagia. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila mereka memandang pekerjaan guru sebagai profesi, yang karena keahliannya ia berhak memperoleh imbalan yang memadai seperti para dokter, para pengacara, para akuntan atau para insinyur. Masih bersediakah mereka ditempatkan di daerah terpencil dengan kondisi seperti ini. Atau, sebaliknya menuntut seperti dokter PTT. Kalau demikian mampukah negara membiayainya. Semoga tidak terjadi!. Pekerjaan guru tetap sebagai panggilan hidup, bukan profesi. Hanya orang-orang yang terpanggillah yang mau menjadi guru. Bukan orang-orang yang ingin kaya melalui pekerjaan guru. * (Penulis Dosen FKIP Untan)

1 Comments:

At 9:41 PM, Blogger samuri Reno said...

Wow..

Salut untuk para guru tersebut pak. Salam untuk mereka, kreativitas dengan segala kekurangan.

 

Post a Comment

<< Home