Abdus Syukur, Ustadz Madura anti Penjarahan
Selasa, 8 September 1998
Suasana kota yang tenang di awal musim hujan, tiba-tiba menjadi ramai. Hilir mudik orang-orang berkeliaran hampir di seluruh penjuru kota. Kala itu, di Pontianak, sang ibukota propinsi Kalimantan Barat, dampak krisis moneter dirasakan sedang berada di puncaknya. Harga-harga kebutuhan masyarakat meningkat tajam, sementara ketersediaan barang seakan semakin menipis di pasaran. Isu-isu penimbunan bahan kebutuhan pokok, seperti gula, beras dan minyak, menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat selama seminggu terakhir. Sanggat dimungkinkan pada kondisi yang demikian terjadi penimbunan oleh para spekulan, tapi tentu tidaklah dapat memukul rata dugaan yang demikian pada seluruh pedagang.
Kondisi tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi mudah terprovokasi. Diawali dengan pembongkaran gudang beras di Wajok[i], penjarahan dan pembongkaran gudang-gudang penyimpanan barang kebutuhan pokok pun mulai menjalar ke seluruh penjuru kota, bak cendawan di musim hujan. Pola gerakan penjarahan terkesan amat rapi dan terkomandokan dengan baik. Banyak saksi mata yang menceritakan, pembongkaran gudang biasanya dimulai oleh beberapa orang yang tidak dikenal warga di sekitar gudang. Kemudian beberapa dari mereka berkeliling di pemukiman padat untuk mengajak masyarakat melakukan penjarahan. Namun, saat masyarakat telah asyik-masyuk menjarah, kelompok inipun raib dari lokasi tersebut. Dalam waktu kurang dari 6 jam, penjarahan dapat dikatakan telah terjadi di kedelapan penjuru mata angin di Kota Pontianak dan daerah penyangganya.
Hampir di setiap titik kota, dapat terlihat ratusan orang mengangkuti barang dari gudang yang berhasil dibongkar. Orang dari beragam latar belakang menyatu menjarahi gudang yang ada. Tak pandang suku, agama dan tingkat perekonomian. Hukum rimba pun berlaku, siapa yang kuat akan menjadi pemenang. Sementara hukum negara seakan tak lagi tegak. Belum habis barang yang berada di gudang, belum pula berhenti penjarahan yang terjadi. Hingga tengah malam perambahan masih terus berlangsung.
Rabu, 9 September 1998
Sedari pagi, matahari tampak enggan menyinari kota khatulistiwa dan hujan pun tampak pula enggan untuk turun. Sedari pagi pula, penjarahan kembali berlanjut. Penjarahan gudang semakin merajalela, kalau di hari pertama, para penjarah tampak belum memiliki persiapan, di hari kedua banyak diantara mereka yang lebih bersiap. Kendaraan pengangkut, seperti becak, gerobak bahkan mobil bak terbuka, telah disiapkan oleh mereka. Penjarahan tidak hanya berlangsung pada gudang, beberapa toko dan swalayan mulai menjadi incaran. Pada beberapa kawasan pusat kota, seperti Gajah Mada dan Parit Besar, tampak dijaga ketat oleh aparat keamanan. Beberapa rumah dan bangunan yang dicurigai sebagai gudang penimbunan pun tak luput dari pembongkaran paksa oleh massa.
Sore harinya, di sebuah gang di daerah Sungai Jawi, Abdus Syukur, seorang ustadz berlatar belakang etnis Madura sedang berada di teras rumahnya di kawasan yang mayoritas warganya berasal dari Madura. Ia keheranan karena banyak warga di sekitarnya yang tampak bergegas kembali ke rumah dan mengambil kendaraannya, untuk selanjutnya pergi membawa kendaraannya. Setelah mencoba bertanya pada beberapa warga, ia mendapat keterangan bahwa banyak pesanan untuk mengangkut barang, khususnya untuk mengangkut hasil penjarahan. Memang di antara warga sekitar pemukimanya banyak yang berprofesi menjadi tukang becak, ojek ataupun supir angkutan kota. Ia pun mengingatkan mereka untuk tidak ikut-ikutan melakukan penjarahan.
Menjelang tengah malam, sekumpulan pemuda menggunakan atribut Dayak dan memakai kendaraan jeep terbuka berkeliling kota, selayaknya petugas keamanan melakukan patroli. Beberapa kali mereka membubarkan kerumunan massa di sekitar lokasi penjarahan. Memang tidak ada kejadian khusus malam itu, tapi kesan yang tergambar seakan penjarahan tersebut dilakukan oleh etnis selain Dayak. Kejadian ini mendorong ketegangan antar etnis, khususnya antara Melayu, Madura, Cina dan Dayak, yang merupakan kelompok etnis mayoritas di Kalimantan Barat. Melayu dan Madura terpojok karena dianggap sebagai pelaku penjarahan, Cina tersudutkan karena dianggap sebagian penimbun, sementara Dayak dipandang sebagai pengaman keadaan. Walau, telah lebih dari 50-an mengalami kemerdekaan. Kenyataannya, politik devide et impera[ii] yang diberlakukan kolonial Belanda ternyata masih berbekas dalam kehidupan bermasyarakat di Kalimantan Barat.
Kamis, 10 September 1998
Penjarahan masih terus berlangsung di beberapa tempat, meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Sementara, patroli milisi etnis Dayak pun semakin gencar berkeliling kota untuk membubarkan para penjarah. Tapi anehnya, tak tampak sedikit pun aparat keamanan, baik dari Kepolisian maupun TNI, menertibkan perilaku ini dan mengambil alih fungsi pengamanan. Terkesan terjadi pembiaran keadaan.
Siang hari sehabis mengajar di sebuah sekolah menengah atas, Ustadz Syukur, memperhatikan beberapa warganya tampak membawa barang hasil jarahan. Beberapa di antara mereka bahkan punggungnya tampak kotor. Ia pun menduga mereka terlibat dalam penjarahan ini. Ia pun memanggil mereka yang dicurigainya. Ia pun dengan keras menasehati mereka. Ia ingatkan bahwa penjarahan itu termasuk mencuri dan hasil jarahan tersebut tidak halal hukumnya.
Jumat, 11 September 1998
Ba’da Shalat Jumat di beberapa pemukiman Madura, seperti: Siantan, Sungai Jawi, Gang Tani, Gang Sepakat dan Sumur Bor, berkumpul banyak massa dan kemudian bergerak ke lapangan di depan Balaikota atau yang lebih dikenal dengan Depan Korem. Di antara ratusan masa yang berkumpul tersebut tampak di antaranya yang membawa senjata tajam. Kondisi kota cukup tegang saat itu. Trauma ketegangan dari kerusuhan antar etnis pada 1999, seakan hadir kembali.
Massa yang berkumpul semakin bertambah ba’da ashar. Dan dengan satu komando, mereka berpawai melewati beberapa kawasan protokol dan strategis di Pontianak. Teriakan-teriakan takbir dan Salawat Badar kerap dikumandangkan, selain ungkapan Madura anti penjarahan. Aksi ini tampaknya menjadi ruang klarifikasi, karena dalam beberapa hari terakhir dikesankan bahwa yang melakukan penjarahan “hanya orang Madura dan dilakukan oleh sebagian besar orang Madura”. Petugas keamanan tampak berjaga di sepanjang jalan yang dilalui oleh konvoi ini. Sementara banyak pula masyarakat yang menjadikan konvoi ini sebagai tontonan dan mengikuti gerak konvoi, tapi tidak bergabung di dalamnya.
Siang itu, Ustadz Syukur sedang beristirahat di rumahnya, sehabis memberikan khotbah Jum’at di sebuah mesjid tak jauh dari rumahnya. Ia memang mendengar akan ada konvoi yang dilakukan oleh masa Madura, namun karena tidak menyetujuinya, ia pun tidak mengikutinya. Ia dan Habib Anis Al Hinduan, seorang pemuka Nahdatul Ulama yang saat itu sedang berkunjung ke rumahnya, mencoba memantau perkembangan yang terjadi dan berpikir keras mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Sehabis Shalat Ashar, datang Mayor Tugino, seorang perwira menengah polisi yang saat itu menjabat Kepala Operasi Polresta Pontianak, ke rumahnya. Beliau meminta dirinya dan Habib Anis untuk ikut menenangkan massa dan membubarkannya, karena jika mereka tidak dapat dibubarkan, diperkirakan aparat akan melakukan sebuah tindakan yang represif ataupun dapat terjadi bentrok dengan masa pihak lainnya. Melihat kondisi yang cukup genting tersebut, tak lagi ia pikirkan untuk berganti baju, dengan bersendal jepit dan bersarung ia pun langsung bergegas berangkat bersama Mayor Tugino.
Konvoi massa saat itu sudah berada di Jalan Gajah Mada, tepatnya di depan kantor Akcaya Pontianak Post. Ia dan Habib Anis pun turun dari mobil dan mendatangi orang-orang di bagian depan konvoi tersebut. Melihat kedatangan mereka, beberapa orang yang mengenal mereka berdua pun menghampiri untuk menyalami. Kemudian bersama Mayor Tugino, mereka bertiga menuju bagian depan dan mengarahkan konvoi tersebut. Beberapa kali ia terpaksa turun dan menyuruh masa untuk bergegas, terutama di persimpangan jalan ataupun di lokasi-lokasi strategis. Di sepanjang jalan, mereka bertiga berdiskusi dalam memilih jalur yang akan dilalui oleh konvoi tersebut dan mencari lokasi akan mengakhirinya.
Menjelang matahari terbenam dan masuknya waktu magrib akhirnya konvoi massa yang semakin lama semakin bertambah pesertanya ini tiba di Sungai Jawi, tepatnya di depan Mesjid Agung Al Falah di Sungai Jawi. Banyak dari peserta konvoi yang menyempatkan diri beristirahat. Beberapa orang yang hendak menyarankan pembubaran barisan, mendapatkan intimidasi dari para peserta konvoi. Melihat kondisi yang demikian, Ustadz Syukur, Mayor Tugino dan Habib Anis Al Hinduan mendiskusikan cara pembubaran konvoi tersebut, jika tidak seperti yang lazim terjadi pada era orde baru, massa akan direpresi oleh aparat saat senja tiba. Mereka bertiga bersepakat bahwa Habib Anis lah yang akan menyampaikan pesan pembubaran, karena secara kultural masyarakat Madura sangat segan dengan habaib[iii]. Ustadz Syukur berpesan agar disampaikan mereka telah menang, karena emosi masyarakat Madura sedang berada sebagai orang-orang yang kalah.
Habib Anis pun berpidato di depan massa. Tak banyak yang disampaikannya, namun pesan utamanya adalah mereka telah menang dan saatnya untuk beribadah shalat magrib, karena mereka akan kembali menjadi orang yang kalah, jika mereka tidak melakukannya. Mendengar kalimat mereka telah menang, bagai mantera sirih, emosi dan suasana menjadi berubah. Massa yang semula tak mau membubarkan diri, karena merasa telah menang, satu persatu pun mulai meninggalkan tempat tersebut. Tak sampai 30 menit, lokasi tersebut telah kosong dari massa, ada yang pulang ke rumah dan ada pula yang masuk ke mesjid melakukan sholat magrib.
Malam harinya, saat ia sedang beristirahat sehabis akan malam dan shalat isya, datang 3 orang tamu, yang memperkenalkan diri sebagai Hermayani, Abdullah dan Albertus. Mereka ternyata utusan dari kelompok organisasi non pemerintah yang juga prihatin dengan kondisi yang ada. Kelompok ini bermaksud melakukan sebuah upaya mediasi untuk mendinginkan suasana beberapa hari terakhir. Mereka mengundangnya guna menghadiri pertemuan tokoh lintas etnis yang akan dilakukan di Redaksi Akcaya Pontianak Post malam itu juga. Melihat keinginan mereka yang sama dengan keinginannya, ia pun mendukung upaya tersebut. Bersama-sama dengan beberapa tokoh madura dari Sungai Jawi, merekapun bergegas menghadiri pertemuan tersebut.
Dalam pertemuan di Redaksi Akcaya Pontianak Post, yang dihadiri beberapa tokoh agama dan etnis, diantaranya: Haitami Salim (berlatar belakang Melayu), Saikun Riyadi dan Marchelus Uthan (berlakang belakang Dayak), Fauzi (berlatar belakang Madura dari Siantan) dan dirinya (berlatar belakang Madura dari Sungai Jawi). Mereka menyepakati bahwa permasalahan penjarahan ini tidak ada hubungannya dengan etnis dan agama tertentu, dan menyerukan masyarakat untuk menghentikan penjarahan yang terjadi. Redaksi Akcaya Pontianak Post pun bersedia memuat seruan tersebut untuk diberitakan keesokan harinya. Selain itu, disepakati pula untuk melakukan pertemuan dengan kelompok etnis lain. Baru setelah lewat tengah malam, iapun dapat pulang dan beristirahat.
Sabtu, 12 September 1998
Pagi harinya, ia mendapat tamu beberapa orang Madura yang menceritakan tentang adanya undangan demonstrasi kembali hari Minggu. Demonstrasi ini ditujukan sebagai sebuah upaya tandingan dari rencana demonstrasi yang akan dilakukan oleh kelompok Dayak, yang telah menjadi isu beberapa hari belakangan. Dalam udangan inipun terdapat ancaman bagi kelompok-kelompok Madura yang tidak ikut serta. Undangan ini disebarkan oleh Amran[iv], seorang blater[v] dari Siantan yang cukup disegani di Pontianak.
Ia pun menghubungi beberapa kerabatnya, untuk mencari tahu adakah yang dekat dengan Amran dan mengetahui dimana ia bisa ditemui. Ternyata seorang pamannya, Haji Marzuki, bersedia menfasilitasi dirinya untuk bertemu dengan Amran. Namun karena adanya rencana pertemuan tokoh lintas etnis dan agama siang harinya, iapun meminta agar pertemuan dilakukan sore hari atau seusai pertemuan.
Siang harinya, pertemuan tokoh lintas etnis dan agama dilakukan kembali dengan peserta yang lebih banyak. Beberapa peserta yang menghadiri pertemuan tersebut diantaranya: H. Sulaiman, Ustadz Hambali, Fauzi dan dirinya (berlatar belakang Madura), Ibrahim Banson, Ikot Rinding, Saikun Riyadi, Marchelus Uthan dan A. Rafinus (berlatar belakang Dayak), LT Sutanto dan Abi Husni Thamrin (berlatar belakang Tionghoa), Bambang Al Hinduan (berlatar belakang Melayu) serta beberapa orang dari organisasi non pemerintah dan organisasi kepemudaan.
Dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Khatulistiwa II[vi] ini disepakati untuk menghentikan sakwasangka antar etnis menyangkut masalah penjarahan. Para tokoh inipun menyadari akan adanya upaya-upaya mengadu domba kelompok etnis yang ada. Para tokoh juga diharapkan dapat menenangkan kelompoknya masing-masing dan mencegah kemungkinan berlangsungnya pengerahan massa secara besar-besaran, seperti yang menjadi issu beberapa hari belakangan. Pertemuan yang berlangsung dengan damai dan penuh rasa kekeluargaan ini berakhir saat magrib menjelang. Sebelum meninggalkan ruang pertemuan, banyak diantara tokoh agama dan etnis tersebut yang berpelukan dan berjabat tangan akrab.
Sehabis pertemuan itu, Ustadz Syukur ditemani pamannya, Haji Marzuki, tidaklah pulang ke rumah, melainkan mencoba mencari Amran di Siantan. Beruntung Amran dapat ditemui di rumahnya. Ustadz Syukur memulai pembicaraan dengan menanyakan apakah betul Amran yang menyebarkan undangan demonstrasi pada kalangan Madura. Blater ini menampik tuduhan tersebut dan dengan seenaknya menjawab Tuhanlah yang membuatnya. Dengan sabar, ia mencoba menjelaskan dampak dari undangan tersebut dan kerugian yang akan ditimbulkannya. Di tengah-tengah pembicaraan, Amran memotong dan bertanya apakah ia ustadz yang beberapa minggu hari lalu memberikan ceramah di rumah Drs. Marjuki, tetangganya. Ustadz Syukur membenarkan memang ia yang memberikan ceramah di rumah tersebut, berhubung sahibul-baitnya masih terhitung kerabatnya. Mendengar jawaban tersebut, Amran pun bergegas masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan telah berganti baju.
Kalau sebelumnya, hanya menggunakan celana pendek dan berbaju kaos. Kini, Amran telah memakai baju, bersarung dan berkopiah. Amran pun segera mencium tangannya, selayaknya seorang santri pada kyainya. Ustadz Syukur pun terkejut dengan perubahan yang demikian dan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Rupanya, waktu ia berceramah di rumah Drs. Marjuki, ada satu ungkapan yang menyentuh Amran. Saat itu Amran sedang mengadu ayam tak jauh dari rumah tersebut, Ustadz Syukur sempat menyampaikan hendaknya kita jangan memusuhi orang-orang yang saat ini sedang tersesat, karena siapa tahu mereka saat ini atau suatu saat di depan ingin kembali ke jalan Allah, sehingga kalau mereka dimusuhi tentu saat keinginan itu tiba mereka akan enggan untuk mencari bimbingan.
Di akhir pembicaraan, Amran pun berjanji untuk menghubungi semua jaringannya dan membatalkan undangan yang disebarkannya. Tenang dan lega hati ustadz Syukur mendengar pernyataan tersebut. Bayangan kerusuhan pun mulai menghilang dari pikirannya, selain itu ia pun telah pula melaksanakan janjinya yang disepakati bersama tokoh-tokoh lintas etnis dan agama, yakni mencegah terjadinya pengerahan massa dan menenangkan massanya. Tak lama kemudian, iapun pamit pulang.
Minggu, 13 September 1998
Walau was-was menjalari perasaan warga Kota Pontianak, ternyata hingga malam tak terjadi pergerakan massa. Petugas keamanan yang disiap siagakan sedari pagi pun menjelang magrib mulai ditarik dari lokasi penempatan. Banyak warga yang bersyukur dengan membaiknya keadaan ini. Kehidupan kota pun kembali berjalan normal, seperti sebelumnya. Hujan kembali turun mendinginkan suasana di bumi khatulistiwa.
[i] Sebuah desa di pinggiran Kota Pontianak
[ii] Politik pecah belah dan adu domba yang diterapkan oleh Kolonialis Belanda selama menjajah nusatara
[iii] Keturunan Nabi, biasanya bergelar Syarif atau Habib bagi yang lelaki atau Syarifah bagi yang perempuan.
[iv] Amran telah meninggal dunia pada 2004 akibat sakit
[v] Orang jago dalam struktur Madura; mirip dengan Jawara di Banten
[vi] Saat ini telah berubah nama menjadi Hotel Surya dan berlokasi di Jalan Sidas Pontianak