Saturday, May 13, 2006

Abdus Syukur, Ustadz Madura anti Penjarahan

Selasa, 8 September 1998
Suasana kota yang tenang di awal musim hujan, tiba-tiba menjadi ramai. Hilir mudik orang-orang berkeliaran hampir di seluruh penjuru kota. Kala itu, di Pontianak, sang ibukota propinsi Kalimantan Barat, dampak krisis moneter dirasakan sedang berada di puncaknya. Harga-harga kebutuhan masyarakat meningkat tajam, sementara ketersediaan barang seakan semakin menipis di pasaran. Isu-isu penimbunan bahan kebutuhan pokok, seperti gula, beras dan minyak, menjadi perbincangan sehari-hari masyarakat selama seminggu terakhir. Sanggat dimungkinkan pada kondisi yang demikian terjadi penimbunan oleh para spekulan, tapi tentu tidaklah dapat memukul rata dugaan yang demikian pada seluruh pedagang.
Kondisi tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi mudah terprovokasi. Diawali dengan pembongkaran gudang beras di Wajok[i], penjarahan dan pembongkaran gudang-gudang penyimpanan barang kebutuhan pokok pun mulai menjalar ke seluruh penjuru kota, bak cendawan di musim hujan. Pola gerakan penjarahan terkesan amat rapi dan terkomandokan dengan baik. Banyak saksi mata yang menceritakan, pembongkaran gudang biasanya dimulai oleh beberapa orang yang tidak dikenal warga di sekitar gudang. Kemudian beberapa dari mereka berkeliling di pemukiman padat untuk mengajak masyarakat melakukan penjarahan. Namun, saat masyarakat telah asyik-masyuk menjarah, kelompok inipun raib dari lokasi tersebut. Dalam waktu kurang dari 6 jam, penjarahan dapat dikatakan telah terjadi di kedelapan penjuru mata angin di Kota Pontianak dan daerah penyangganya.
Hampir di setiap titik kota, dapat terlihat ratusan orang mengangkuti barang dari gudang yang berhasil dibongkar. Orang dari beragam latar belakang menyatu menjarahi gudang yang ada. Tak pandang suku, agama dan tingkat perekonomian. Hukum rimba pun berlaku, siapa yang kuat akan menjadi pemenang. Sementara hukum negara seakan tak lagi tegak. Belum habis barang yang berada di gudang, belum pula berhenti penjarahan yang terjadi. Hingga tengah malam perambahan masih terus berlangsung.

Rabu, 9 September 1998
Sedari pagi, matahari tampak enggan menyinari kota khatulistiwa dan hujan pun tampak pula enggan untuk turun. Sedari pagi pula, penjarahan kembali berlanjut. Penjarahan gudang semakin merajalela, kalau di hari pertama, para penjarah tampak belum memiliki persiapan, di hari kedua banyak diantara mereka yang lebih bersiap. Kendaraan pengangkut, seperti becak, gerobak bahkan mobil bak terbuka, telah disiapkan oleh mereka. Penjarahan tidak hanya berlangsung pada gudang, beberapa toko dan swalayan mulai menjadi incaran. Pada beberapa kawasan pusat kota, seperti Gajah Mada dan Parit Besar, tampak dijaga ketat oleh aparat keamanan. Beberapa rumah dan bangunan yang dicurigai sebagai gudang penimbunan pun tak luput dari pembongkaran paksa oleh massa.
Sore harinya, di sebuah gang di daerah Sungai Jawi, Abdus Syukur, seorang ustadz berlatar belakang etnis Madura sedang berada di teras rumahnya di kawasan yang mayoritas warganya berasal dari Madura. Ia keheranan karena banyak warga di sekitarnya yang tampak bergegas kembali ke rumah dan mengambil kendaraannya, untuk selanjutnya pergi membawa kendaraannya. Setelah mencoba bertanya pada beberapa warga, ia mendapat keterangan bahwa banyak pesanan untuk mengangkut barang, khususnya untuk mengangkut hasil penjarahan. Memang di antara warga sekitar pemukimanya banyak yang berprofesi menjadi tukang becak, ojek ataupun supir angkutan kota. Ia pun mengingatkan mereka untuk tidak ikut-ikutan melakukan penjarahan.
Menjelang tengah malam, sekumpulan pemuda menggunakan atribut Dayak dan memakai kendaraan jeep terbuka berkeliling kota, selayaknya petugas keamanan melakukan patroli. Beberapa kali mereka membubarkan kerumunan massa di sekitar lokasi penjarahan. Memang tidak ada kejadian khusus malam itu, tapi kesan yang tergambar seakan penjarahan tersebut dilakukan oleh etnis selain Dayak. Kejadian ini mendorong ketegangan antar etnis, khususnya antara Melayu, Madura, Cina dan Dayak, yang merupakan kelompok etnis mayoritas di Kalimantan Barat. Melayu dan Madura terpojok karena dianggap sebagai pelaku penjarahan, Cina tersudutkan karena dianggap sebagian penimbun, sementara Dayak dipandang sebagai pengaman keadaan. Walau, telah lebih dari 50-an mengalami kemerdekaan. Kenyataannya, politik devide et impera[ii] yang diberlakukan kolonial Belanda ternyata masih berbekas dalam kehidupan bermasyarakat di Kalimantan Barat.


Kamis, 10 September 1998
Penjarahan masih terus berlangsung di beberapa tempat, meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Sementara, patroli milisi etnis Dayak pun semakin gencar berkeliling kota untuk membubarkan para penjarah. Tapi anehnya, tak tampak sedikit pun aparat keamanan, baik dari Kepolisian maupun TNI, menertibkan perilaku ini dan mengambil alih fungsi pengamanan. Terkesan terjadi pembiaran keadaan.
Siang hari sehabis mengajar di sebuah sekolah menengah atas, Ustadz Syukur, memperhatikan beberapa warganya tampak membawa barang hasil jarahan. Beberapa di antara mereka bahkan punggungnya tampak kotor. Ia pun menduga mereka terlibat dalam penjarahan ini. Ia pun memanggil mereka yang dicurigainya. Ia pun dengan keras menasehati mereka. Ia ingatkan bahwa penjarahan itu termasuk mencuri dan hasil jarahan tersebut tidak halal hukumnya.

Jumat, 11 September 1998
Ba’da Shalat Jumat di beberapa pemukiman Madura, seperti: Siantan, Sungai Jawi, Gang Tani, Gang Sepakat dan Sumur Bor, berkumpul banyak massa dan kemudian bergerak ke lapangan di depan Balaikota atau yang lebih dikenal dengan Depan Korem. Di antara ratusan masa yang berkumpul tersebut tampak di antaranya yang membawa senjata tajam. Kondisi kota cukup tegang saat itu. Trauma ketegangan dari kerusuhan antar etnis pada 1999, seakan hadir kembali.
Massa yang berkumpul semakin bertambah ba’da ashar. Dan dengan satu komando, mereka berpawai melewati beberapa kawasan protokol dan strategis di Pontianak. Teriakan-teriakan takbir dan Salawat Badar kerap dikumandangkan, selain ungkapan Madura anti penjarahan. Aksi ini tampaknya menjadi ruang klarifikasi, karena dalam beberapa hari terakhir dikesankan bahwa yang melakukan penjarahan “hanya orang Madura dan dilakukan oleh sebagian besar orang Madura”. Petugas keamanan tampak berjaga di sepanjang jalan yang dilalui oleh konvoi ini. Sementara banyak pula masyarakat yang menjadikan konvoi ini sebagai tontonan dan mengikuti gerak konvoi, tapi tidak bergabung di dalamnya.
Siang itu, Ustadz Syukur sedang beristirahat di rumahnya, sehabis memberikan khotbah Jum’at di sebuah mesjid tak jauh dari rumahnya. Ia memang mendengar akan ada konvoi yang dilakukan oleh masa Madura, namun karena tidak menyetujuinya, ia pun tidak mengikutinya. Ia dan Habib Anis Al Hinduan, seorang pemuka Nahdatul Ulama yang saat itu sedang berkunjung ke rumahnya, mencoba memantau perkembangan yang terjadi dan berpikir keras mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Sehabis Shalat Ashar, datang Mayor Tugino, seorang perwira menengah polisi yang saat itu menjabat Kepala Operasi Polresta Pontianak, ke rumahnya. Beliau meminta dirinya dan Habib Anis untuk ikut menenangkan massa dan membubarkannya, karena jika mereka tidak dapat dibubarkan, diperkirakan aparat akan melakukan sebuah tindakan yang represif ataupun dapat terjadi bentrok dengan masa pihak lainnya. Melihat kondisi yang cukup genting tersebut, tak lagi ia pikirkan untuk berganti baju, dengan bersendal jepit dan bersarung ia pun langsung bergegas berangkat bersama Mayor Tugino.
Konvoi massa saat itu sudah berada di Jalan Gajah Mada, tepatnya di depan kantor Akcaya Pontianak Post. Ia dan Habib Anis pun turun dari mobil dan mendatangi orang-orang di bagian depan konvoi tersebut. Melihat kedatangan mereka, beberapa orang yang mengenal mereka berdua pun menghampiri untuk menyalami. Kemudian bersama Mayor Tugino, mereka bertiga menuju bagian depan dan mengarahkan konvoi tersebut. Beberapa kali ia terpaksa turun dan menyuruh masa untuk bergegas, terutama di persimpangan jalan ataupun di lokasi-lokasi strategis. Di sepanjang jalan, mereka bertiga berdiskusi dalam memilih jalur yang akan dilalui oleh konvoi tersebut dan mencari lokasi akan mengakhirinya.
Menjelang matahari terbenam dan masuknya waktu magrib akhirnya konvoi massa yang semakin lama semakin bertambah pesertanya ini tiba di Sungai Jawi, tepatnya di depan Mesjid Agung Al Falah di Sungai Jawi. Banyak dari peserta konvoi yang menyempatkan diri beristirahat. Beberapa orang yang hendak menyarankan pembubaran barisan, mendapatkan intimidasi dari para peserta konvoi. Melihat kondisi yang demikian, Ustadz Syukur, Mayor Tugino dan Habib Anis Al Hinduan mendiskusikan cara pembubaran konvoi tersebut, jika tidak seperti yang lazim terjadi pada era orde baru, massa akan direpresi oleh aparat saat senja tiba. Mereka bertiga bersepakat bahwa Habib Anis lah yang akan menyampaikan pesan pembubaran, karena secara kultural masyarakat Madura sangat segan dengan habaib[iii]. Ustadz Syukur berpesan agar disampaikan mereka telah menang, karena emosi masyarakat Madura sedang berada sebagai orang-orang yang kalah.
Habib Anis pun berpidato di depan massa. Tak banyak yang disampaikannya, namun pesan utamanya adalah mereka telah menang dan saatnya untuk beribadah shalat magrib, karena mereka akan kembali menjadi orang yang kalah, jika mereka tidak melakukannya. Mendengar kalimat mereka telah menang, bagai mantera sirih, emosi dan suasana menjadi berubah. Massa yang semula tak mau membubarkan diri, karena merasa telah menang, satu persatu pun mulai meninggalkan tempat tersebut. Tak sampai 30 menit, lokasi tersebut telah kosong dari massa, ada yang pulang ke rumah dan ada pula yang masuk ke mesjid melakukan sholat magrib.
Malam harinya, saat ia sedang beristirahat sehabis akan malam dan shalat isya, datang 3 orang tamu, yang memperkenalkan diri sebagai Hermayani, Abdullah dan Albertus. Mereka ternyata utusan dari kelompok organisasi non pemerintah yang juga prihatin dengan kondisi yang ada. Kelompok ini bermaksud melakukan sebuah upaya mediasi untuk mendinginkan suasana beberapa hari terakhir. Mereka mengundangnya guna menghadiri pertemuan tokoh lintas etnis yang akan dilakukan di Redaksi Akcaya Pontianak Post malam itu juga. Melihat keinginan mereka yang sama dengan keinginannya, ia pun mendukung upaya tersebut. Bersama-sama dengan beberapa tokoh madura dari Sungai Jawi, merekapun bergegas menghadiri pertemuan tersebut.
Dalam pertemuan di Redaksi Akcaya Pontianak Post, yang dihadiri beberapa tokoh agama dan etnis, diantaranya: Haitami Salim (berlatar belakang Melayu), Saikun Riyadi dan Marchelus Uthan (berlakang belakang Dayak), Fauzi (berlatar belakang Madura dari Siantan) dan dirinya (berlatar belakang Madura dari Sungai Jawi). Mereka menyepakati bahwa permasalahan penjarahan ini tidak ada hubungannya dengan etnis dan agama tertentu, dan menyerukan masyarakat untuk menghentikan penjarahan yang terjadi. Redaksi Akcaya Pontianak Post pun bersedia memuat seruan tersebut untuk diberitakan keesokan harinya. Selain itu, disepakati pula untuk melakukan pertemuan dengan kelompok etnis lain. Baru setelah lewat tengah malam, iapun dapat pulang dan beristirahat.

Sabtu, 12 September 1998
Pagi harinya, ia mendapat tamu beberapa orang Madura yang menceritakan tentang adanya undangan demonstrasi kembali hari Minggu. Demonstrasi ini ditujukan sebagai sebuah upaya tandingan dari rencana demonstrasi yang akan dilakukan oleh kelompok Dayak, yang telah menjadi isu beberapa hari belakangan. Dalam udangan inipun terdapat ancaman bagi kelompok-kelompok Madura yang tidak ikut serta. Undangan ini disebarkan oleh Amran[iv], seorang blater[v] dari Siantan yang cukup disegani di Pontianak.
Ia pun menghubungi beberapa kerabatnya, untuk mencari tahu adakah yang dekat dengan Amran dan mengetahui dimana ia bisa ditemui. Ternyata seorang pamannya, Haji Marzuki, bersedia menfasilitasi dirinya untuk bertemu dengan Amran. Namun karena adanya rencana pertemuan tokoh lintas etnis dan agama siang harinya, iapun meminta agar pertemuan dilakukan sore hari atau seusai pertemuan.
Siang harinya, pertemuan tokoh lintas etnis dan agama dilakukan kembali dengan peserta yang lebih banyak. Beberapa peserta yang menghadiri pertemuan tersebut diantaranya: H. Sulaiman, Ustadz Hambali, Fauzi dan dirinya (berlatar belakang Madura), Ibrahim Banson, Ikot Rinding, Saikun Riyadi, Marchelus Uthan dan A. Rafinus (berlatar belakang Dayak), LT Sutanto dan Abi Husni Thamrin (berlatar belakang Tionghoa), Bambang Al Hinduan (berlatar belakang Melayu) serta beberapa orang dari organisasi non pemerintah dan organisasi kepemudaan.
Dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Khatulistiwa II[vi] ini disepakati untuk menghentikan sakwasangka antar etnis menyangkut masalah penjarahan. Para tokoh inipun menyadari akan adanya upaya-upaya mengadu domba kelompok etnis yang ada. Para tokoh juga diharapkan dapat menenangkan kelompoknya masing-masing dan mencegah kemungkinan berlangsungnya pengerahan massa secara besar-besaran, seperti yang menjadi issu beberapa hari belakangan. Pertemuan yang berlangsung dengan damai dan penuh rasa kekeluargaan ini berakhir saat magrib menjelang. Sebelum meninggalkan ruang pertemuan, banyak diantara tokoh agama dan etnis tersebut yang berpelukan dan berjabat tangan akrab.
Sehabis pertemuan itu, Ustadz Syukur ditemani pamannya, Haji Marzuki, tidaklah pulang ke rumah, melainkan mencoba mencari Amran di Siantan. Beruntung Amran dapat ditemui di rumahnya. Ustadz Syukur memulai pembicaraan dengan menanyakan apakah betul Amran yang menyebarkan undangan demonstrasi pada kalangan Madura. Blater ini menampik tuduhan tersebut dan dengan seenaknya menjawab Tuhanlah yang membuatnya. Dengan sabar, ia mencoba menjelaskan dampak dari undangan tersebut dan kerugian yang akan ditimbulkannya. Di tengah-tengah pembicaraan, Amran memotong dan bertanya apakah ia ustadz yang beberapa minggu hari lalu memberikan ceramah di rumah Drs. Marjuki, tetangganya. Ustadz Syukur membenarkan memang ia yang memberikan ceramah di rumah tersebut, berhubung sahibul-baitnya masih terhitung kerabatnya. Mendengar jawaban tersebut, Amran pun bergegas masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan telah berganti baju.
Kalau sebelumnya, hanya menggunakan celana pendek dan berbaju kaos. Kini, Amran telah memakai baju, bersarung dan berkopiah. Amran pun segera mencium tangannya, selayaknya seorang santri pada kyainya. Ustadz Syukur pun terkejut dengan perubahan yang demikian dan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Rupanya, waktu ia berceramah di rumah Drs. Marjuki, ada satu ungkapan yang menyentuh Amran. Saat itu Amran sedang mengadu ayam tak jauh dari rumah tersebut, Ustadz Syukur sempat menyampaikan hendaknya kita jangan memusuhi orang-orang yang saat ini sedang tersesat, karena siapa tahu mereka saat ini atau suatu saat di depan ingin kembali ke jalan Allah, sehingga kalau mereka dimusuhi tentu saat keinginan itu tiba mereka akan enggan untuk mencari bimbingan.
Di akhir pembicaraan, Amran pun berjanji untuk menghubungi semua jaringannya dan membatalkan undangan yang disebarkannya. Tenang dan lega hati ustadz Syukur mendengar pernyataan tersebut. Bayangan kerusuhan pun mulai menghilang dari pikirannya, selain itu ia pun telah pula melaksanakan janjinya yang disepakati bersama tokoh-tokoh lintas etnis dan agama, yakni mencegah terjadinya pengerahan massa dan menenangkan massanya. Tak lama kemudian, iapun pamit pulang.

Minggu, 13 September 1998
Walau was-was menjalari perasaan warga Kota Pontianak, ternyata hingga malam tak terjadi pergerakan massa. Petugas keamanan yang disiap siagakan sedari pagi pun menjelang magrib mulai ditarik dari lokasi penempatan. Banyak warga yang bersyukur dengan membaiknya keadaan ini. Kehidupan kota pun kembali berjalan normal, seperti sebelumnya. Hujan kembali turun mendinginkan suasana di bumi khatulistiwa.
[i] Sebuah desa di pinggiran Kota Pontianak
[ii] Politik pecah belah dan adu domba yang diterapkan oleh Kolonialis Belanda selama menjajah nusatara
[iii] Keturunan Nabi, biasanya bergelar Syarif atau Habib bagi yang lelaki atau Syarifah bagi yang perempuan.
[iv] Amran telah meninggal dunia pada 2004 akibat sakit
[v] Orang jago dalam struktur Madura; mirip dengan Jawara di Banten
[vi] Saat ini telah berubah nama menjadi Hotel Surya dan berlokasi di Jalan Sidas Pontianak

Bu Eni, Guru Cinta Damai

Kerusuhan berlatar belakang etnis yang terjadi di Kabupaten Sambas beberapa tahun yang lalu, seakan masih membekas dalam ingatan Eni Dewi Kurniawati. Saat itu, ia masih mengajar di satu-satunya sekolah menengah umum negeri di Kota Sambas[i]. Sehabis kejadian yang berlangsung hampir selama 2 bulan itu, ibu tiga orang anak ini harus kehilangan belasan orang muridnya. Mereka sejak saat itu tidak lagi menjadi murid yang diasuhnya, karena harus mengungsi mengikuti orang tua mereka. Keadaan ini diakibatkan pengusiran komunitas beretnis Madura, yang merupakan dampak dari kerusuhan tersebut.
Secara sadar, perempuan kelahiran Tambelan[ii] pada 16 Desember 1964 ini, tidak menyetujui kerusuhan yang mengakibatkan banyak korban nyawa dan harta benda tersebut. Kesedihan yang kerap menghampiri hatinya, kala mengenang kejadian tersebut, membuatnya sadar untuk berbuat. Entah apa saja yang bisa dibuatnya. Tentu saja dengan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Ia pun menyadari yang menjadi korban dari kerusuhan tersebut tidak saja komunitas Madura yang terusir, komunitas Melayu juga sejatinya merupakan korban. Terlebih pada anak-anak, yang saat itu menyaksikan kejadian tersebut, tanpa mereka tahu mengapa kejadian tersebut harus terjadi.
Analisanya, penyebab kerusuhan tersebut diakibatkan rendahnya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kemanusiaan dan terkikisnya rasa persatuan di antara anak bangsa negeri ini. Menyadari kondisi yang demikian, alumni IKIP Malang[iii] ini, mulai untuk melakukan upaya penyadaran akan pluralisme pada murid-muridnya. Berbagai metode mulai ia kembangkan, baik melalui pengajaran di dalam kelas maupun pada kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya.
Dalam kegiatan pengajaran, cara yang dikembangkannya adalah melalui metode diskusi dan kegiatan karang-mengarang. Bagi Bu Eni, kegiatan karang-mengarang bukan lah sesuatu yang asing bagi dirinya. Maklum, ia sangat gemar akan dunia sastra dan saat kecil ia pun pernah bercita-cita menjadi pujangga. Tema-tema yang diangkat dalam kegiatan karang-mengarang ini dicobanya untuk mendorong penghargaan pada nilai kemanusiaan dan permasalahan yang dekat dengan anak-anak. Dukungan yang diberikannya tak hanya sampai di sini. Beberapa karya muridnya, ia fasilitasi untuk dimuat di media massa. Salah satunya adalah Majalah Horison, salah satu kiblat satra di Indonesia. Di media ini pada edisi Novembar 2000, pernah dimuat tujuh karya muridnya dan secara khusus dibahas pula oleh Jamal D. Rahman, seorang penulis puisi dan kritikus sastra ternama. Pujian dan penghargaan yang besar disampaikan kritikus ini pada karya murid-muridnya. Pesan perdamaian dapat kita rasakan sangat kuat berada dalam tulisan-tulisan para pelajar ini, simak-lah salah satu karya yang sempat dimuat tersebut:

Perang[iv]
oleh: Jamilah

tiga suku bangsa
terebut tanah leluhur
tertempur di bumi Sambas
beribu kepala melayang
beribu ibu kehilangan keluarga
beribu rumah terbakar
beribu anak putus sekolah

kami tak punya siapa-siapa
ketakutan ini akan kami ceritakan pada siapa
kami kaum muda
hanya bisa mendengar
tak mampu menghindar

Di SMU Negeri 1 Sambas, yang merupakan tempat keduanya mengabdi mendidik generasi penerus bangsa, setelah sebelumnya ia sempat bertugas di SMU Negeri Tebas[v] selama sembilan tahun, Bu Eni bersama beberapa muridnya mendirikan sebuah sanggar seni, yang diberi nama Muara Ulakan. Setiap tahun, sanggar seni ini kerap menyelenggarakan sebuah pagelaran akbar. Hampir pada setiap pagelaran, ia selalu mendorong murid-muridnya untuk membawakan karya-karya yang temanya dekat dengan kondisi aktual di masyarakat. Tak heran, jika pada gelaran yang dilakukan pada 2000, pertunjukan yang digelar membawakan tema mengenai dampak dari kerusuhan yang terjadi.
Saat pagelaran seni tersebut digelar, selain civitas academica[vi] SMU Negeri 1 Sambas, acara tersebut juga dihadiri oleh pejabat pemerintah, pemuka dan tokoh masyarakat di kota tersebut. Memang ada saja yang mengkritisi dan merasa kurang setuju akan gelaran tersebut, yang mengambarkan dampak dari kerusuhan yang terjadi. Namun banyak pula yang memberi pujian dan bersepakat akan pesan-pesan yang disampaikan dalam karya seni yang ditampilkan tersebut. Tanggap balik demikian semakin mengukuhkan dirinya untuk terus berjuang menegakkan perdamaian dan menginspirasikan dirinya untuk terus berkarya.
Pada awal 2003, ibu guru yang pernah menjadi guru berprestasi di Kabupaten Sambas dan runner up guru berprestasi di Kalimantan Barat 2002 ini, membaca pengumuman menyangkut lomba kreativitas guru nasional yang diselengarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ia tertarik untuk mengikutinya dan mulai menyusun tulisan agar dapat disertakan dalam kegiatan ini. Tak sulit memang bagi dirinya untuk menghadirkan tulisan tersebut. Karena apa yang dijabarkannya merupakan rangkaian pengalaman yang pernah diujicobakannya dalam pengajaran di kelas. Tulisan itu diberinya judul Minimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme pada Siswa SMUN 1 Sambas. Selain sebagai media mengasah kemampuan menulis, ia juga berharap dapat mempertukarkan metode pengajaran yang dikembangkannya. Tak disangka, tak dinyana. Tulisannya mendapatkan kesempatan untuk masuk putaran final, sehingga ia pun harus berangkat ke Jakarta, untuk diuji dan diwawancarai oleh tim panel, yang terdiri dari beberapa orang pakar yang diketuai oleh Prof. Dr. Robert Napitupulu.
Pertanyaan yang diajukan oleh para pakar, mampu dijelaskannya dengan baik. Walau ada satu pertanyaan yang sangat diingatnya dan dijawabkan dengan polos, karena memang ia tidak mengetahuinya. Pertanyaan tersebut menyangkut dimana ia mempelajari metode pengajaran kurikulum berbasis kompetensi, yang akan diterapkan pada 2004. Ia menjawab bahwa ia tidak mengetahui apa dan bagaimana kurikulum berbasis kompetensi itu. Wajar, karena hingga saat itu, ia belum pernah sama sekali mengikuti pelatihan menyangkut model pembelajaran tersebut. Padahal, menurut para pakar, metode yang dikembangkannya sangat selaras dan memenuhi prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Saat pengumuman dilakukan, ia tak begitu berharap menjadi pemenang, karena ia merasa telah cukup banyak pengalaman yang didapatkannya dalam rangkaian kegiatan tersebut. Waktu namanya disebut sebagai pemenang pertama, ia terkejut dan tak menyangka akan berkah tersebut. Kalimat syukurpun ia haturkan keharibaan Sang Kuasa. Di dalam hatinya, ia merasa apa yang dilakukannya selama ini akhirnya mendapatkan pengakuan dan dihargai.
Tak banyak kata yang dapat diucapkannya waktu mendapatkan penghargaan dan diwawancarai oleh para wartawan dari segenap media, baik cetak maupun elektronik. Hanya sepatah kata yang mampu terucapnya. Ia bermohon, “Bantu saya persatukan bangsa ini.”

[i] Saat ini, beliau telah menjadi Kepala Sekolah SMU Negeri 2 Sambas, yang sejak pendiriannya pada 2003 ia menjadi Ketua Tim Persiapan
[ii] Pulau Tambelan terletak di Propinisi Kepulauan Riau, yang secara geografis letaknya berdekatan dengan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
[iii] Beliau mengikuti program Diploma 3 Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Tanjungpura dan melanjutkan pendidikannya melalui program penyetaraan di IKIP Malang pada 1998.
[iv] Disadur dari Majalah Horison, Rubrik Kakilangit 46/ November 2000 halaman 18.
[v] Kota Tebas terletak kurang lebih 80 Km sebelah selatan Kota Sambas
[vi] Keluarga besar sebuah lembaga pendidikan, yang meliputi: murid, guru, alumni dan orang tua murid

Mak Endang, Sang Pelindung Tamu

Pertama kali mendengar terjadinya keributan masa antara masyarakat Dayak dan Madura di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas[i] tepat di akhir tahun 1996, hati Mak Endang (45 tahun saat itu) bergetar. Ingatan masa lalu akan kerusuhan-kerusuhan yang pernah dilaluinya pun kembali hadir. Doa dipanjatkannya, berharap kejadian tersebut tidak menjalar ke daerahnya. Apalagi saat itu sang suami tercinta, Pak Ismail, sedang menjalani pendidikan Adumla[ii] di Mempawah, ibukota kabupaten. Sehingga, untuk sementara waktu, perempuan paruh baya beretnis Dayak yang bersuami Melayu Sambas inilah yang harus menjadi kepala keluarga.
Walau telah di akhir bulan puasa dan menjelang hari raya Idhul Fitri, Mak Endang tidak seperti ibu-ibu lain di lingkungannya. Jika kebanyakan mereka bersibuk membuat kue-kue, ia tidak begitu menghiraukannya, dan lebih banyak mencari informasi perkembangan konflik. Tak jarang, ia harus mendatangi kelompok lelaki yang sedang kumpul di pasar atau mendatangi Markas Koramil atau Pos Polisi yang ada. Dalam kondisi yang menegangkan tersebut, banyak rumor yang berkembang dan memperpanas suasana.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pemblokiran jalan di Desa Salatiga, yang mayoritas penduduknya Madura, mengakibatkan masyarakat lain (yang mayoritas beretnis Dayak) yang tergantung pada jalan tersebut menjadi mudah terprovokasi. Pada suatu siang di akhir Pebruari 1997, ketakutan Mak Endang menjadi kenyataan. Ribuan orang berkumpul di sekitar Kota Kecamatan Mandor, dimana Mak Endang telah bermukim selama hampir 15 tahun dan hanya terletak kurang dari 10 km dari Desa Salatiga, tempat pemblokiran terjadi. Masa tersebut bermaksud membuka pemblokiran jalan yang berlangsung. Kebanyakan mereka membawa senjata tajam yang berkilauan terkena sinar matahari. Beberapa dari mereka, wajahnya terlihat memerah disengat matahari atau dipengaruhi minum keras. Amarah melingkupi masa yang datang dari berbagai kecamatan di Kabupaten Pontianak[iii]. “Suasana saat itu, tak jauh berbeda dengan serangan Tsunami di Aceh,” paparnya mengambarkan keadaan saat itu.
Dalam kondisi serba tidak pasti tersebut, ia mencoba menenangkan anak-anak dan keluarganya. Apalagi hubungan dengan suaminya terputus total, akibat jalur transportasi yang terhambat dan teknologi komunikasi yang belum sebaik saat ini. Untuk melindungi diri dan keluarganya, Mak Endang teringat pada pengalaman kerusuhan 1983, segera ia mencari daun juang dan kain merah-putih. Kain merah-putih dan daun juang adalah simbol yang berarti penggunanya merupakan kerabat masyarakat Dayak. Karena tak tersedia kain merah dan putih, iapun terpaksa mengorbankan sepotong bendera, untuk dipotong-potong dan dibagikan pada keluarga, tetangga, dan aparat keamanan yang singgah di rumahnya, serta orang-orang Madura yang kemudian datang meminta perlindungan kepadanya.
Ketegangan ini terjadi cukup lama. Semakin hari semakin banyak orang yang datang ke Kota Mandor untuk melibatkan diri dalam konflik kekerasan ini. Dalam suasana mencekam tersebut, datang beberapa keluarga berlatar belakang etnis Madura ke rumah Mak Endang untuk meminta perlindungan. “Tamu” Mak Endang ini sebagian besar berasal dari desa di sekitar kota Kecamatan Mandor, yang telah meminta perlindungan ke sana-sini, namun ditolak. Rumah Mak Endang menjadi tujuan terakhir bagi mereka, karena masyarakat mengetahui sosok Pak Ismail, suami Mak Endang, seorang guru yang ringan tangan dalam menolong orang. Selama 2 minggu, dimana puncak konflik berlangsung, setidaknya hampir 15-an orang dari 5 keluarga, yang datang minta perlindungan ke rumahnya.
Apa yang dilakukan Mak Endang bukanlah sebuah tindakan yang tak beresiko. Ancaman bagi orang yang menyembunyikan “musuh” adalah dihabisi dan rumahnya akan dibakar. Bahkan pada awalnya tidak semua anaknya mendukung. “Mamak mau menyelamatkan mereka atau mau membunuh kami?,” protes seorang anaknya yang masih duduk dibangku SMA saat itu. Namun setelah diberi pengertian, mereka pun sepakat dan mendukung apa yang dilakukan Mak Endang. “Kalau berniat dan berupaya berbuat yang baik, tentunya Tuhan akan melindungi,” ungkap Mak Endang menyangkut motivasinya melindungi para “tamu”-nya. Ia pun teringat petuah bapaknya sewaktu dia kecil, saat terjadi kerusuhan Dayak-China atau yang lebih dikenal dengan “Demonstrasi China” pada tahun 1967. “Tidak boleh dan janganlah kalian menganiaya orang lain dan mengambil barang milik orang yang teraniaya,” nasehat ayahnya saat mengajak Mak Endang kecil melihat-lihat keadaan paska kerusuhan itu.
Para “tamu”-nya ini diakunya sebagai anggota keluarga atau kerabat jauhnya pada orang-orang yang menanyainya. Ada pula yang beberapa hari harus disembunyikanya di dalam kolong tempat tidur dengan dibaluti kasur. Ada di antara mereka yang harus Mak Endang potong rambut, supaya membuat penampilan mereka berbeda, takut-takut ada yang mengenali mereka. Tak jarang Mak Endang harus berbohong tentang identitas mereka. Pun baju anak-anak, suami dan dirinya ia berikan pada para tamu-nya, karena kebanyakan mereka hanya memiliki baju yang melekat di badannya saja. Televisi satu-satunya terpaksa pula Mak Endang jual pada tetangganya, Pak Jay, karena uang yang ada telah menipis. Selain memberi makan “tamu”-nya, Mak Endang terkadang juga harus menyediakan makan untuk saudaranya yang datang dari Pak Kumbang. Padahal, saat itu harga makanan melambung tinggi, akibat transportasi yang terputus.
Mak Endang pun secara aktif melakukan penyadaran pada orang-orang dekatnya. Saat keluarganya dari Desa Pak Kumbang datang ke rumahnya, dengan alasan hendak melindungi dia dan anak-anaknya. Ia menasehati mereka untuk tidak ikut-ikutan melakukan hal-hal yang tidak baik. “Jangan melakukan pengerusakan dan pembunuhan, karena korbannya juga adalah manusia, “ imbaunya pada mereka. Mak Endang selalu mengingatkan mereka untuk kembali ke ajaran agama yang mereka anut dan percayai.
Setelah keadaan aman dan berlangsung perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak, para tamunya akhirnya ia serahkan pada aparat keamanan. Puji syukur Mak Endang panjatkan, karena sang suami pun dalam keadaan baik, walau sempat diungsikan ke Pontianak oleh pelaksana pendidikan. Tak ada seorang pun tamunya yang terluka dan menjadi korban. Oleh aparat keamanan, mereka semua saat itu diungsikan ke Pontianak. Ada beberapa yang kemudian kembali ke tempat asalnya, namun ada pula yang pindah ke daerah lain. Beberapa dari mereka ada yang menjadikan Mak Endang sebagai keluarga barunya dan selalu menjalin tali silaturahmi dengannya hingga saat ini. ”Mudah-mudahan janganlah terjadi kejadian yang demikian kembali, apapun yang dilakukan saat itu terasa tak enak, hati terus menerus was-was,“ harap dan pesan Mak Endang.


[i] Wilayah Kabupaten Sambas sejak 1998 hingga saat ini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang. Kecamatan Sanggau Ledo saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang
[ii] Adumla= adminstrasi umum lanjutan, sebuah bentuk pelatihan dan pendidikan bagi pegawai negeri sipil
[iii] Wilayah Kabupaten Pontianak sejak 1998 telah dimekarkan menjadi Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Landak. Kecamatan-kecamatan di sekitar Mandor saat ini telah menjadi bagian dari Kabupaten Landak